Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ironi Sang Pengukir di Lumpur Asmat

11 Mei 2017   05:08 Diperbarui: 23 Oktober 2018   13:24 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengukir Asmat. Dokumentasi Pribadi.

Sang mentari sudah kembali ke peraduannya. Gelap menyelimuti kota Agats, Asmat. Lampu jalan agak redup. Motor listrik dan sepeda masih lalu lalang di atas jalan komposit. Di seberang jalan, tampak samar seorang lelaki menenteng ukiran di tangannya. Ia mengenakan celana pendek dan kaos oblong, tanpa alas kaki.

Aku berdiri di pintu memperhatikan lelaki itu. Badannya kurus. Raut wajahnya agak pucat. Aku melihat ia sedang bercerita dengan seorang lelaki berambut lurus. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tak lama kemudian, lelaki itu beranjak menuju tempat tinggalku.

“Selamat malam anak,” sapanya. “Selamat malam juga Bapa. Bagaimana Bapa?” tanyaku padanya. “Anak, saya mau jual ukiran ini. Kalau anak beli, saya mau pakai uang itu untuk beli beras,” sahutnya dengan nada sendu.

Aku merasakan getaran hatinya berharap mendapatkan sesuatu. Raut wajahnya memancarkan kesulitan yang sedang dialaminya. Aku mengajaknya duduk di ruang tamu. “Bapa tinggal di mana?” tanyaku padanya. “Anak, saya tinggal di Jalan Dolog, Pasar Baru. Saya tinggal dengan istri dan anak-anak. Saya punya anak ada tujuh orang,” jawabnya.

Wajahnya yang lesuh dan muram kini berangsur segar. Ia berkisah tentang kehidupan keluarganya. “Saya ini dulu kuliah di Jayapura sampai semester enam saja. Saya pulang kembali ke Agats karena tidak ada biaya kuliah. Sekarang ini, saya tinggal di gubuk sambil bikin ukiran. Kalau sudah selesai ukir saya jual. Uangnya saya pakai untuk beli beras dan sayur,” tuturnya.

Di sela-sela cerita itu, aku ke dapur dan mengambil segelas air putih untuknya. “Bapa, silakan diminum.” Ia mengangkat gelas itu dan meneguknya sekali saja. “Anak, Bapa minta tambah air putih. Bapa haus,” pintanya, tanpa rasa canggung.

Setelah meneguk dua gelas air putih, ia menawarkan lagi ukirannya padaku. “Anak tolong beli ukiran ini. Harganya dua ratus lima puluh ribu. Tapi, anak bisa tawar. Harga pas seratus lima puluh ribu supaya Bapa bisa beli beras Bulog satu karung yang ukuran lima belas kilo,” ungkapnya memohon.

Aku sendiri tak memiliki cukup uang untuk menolongnya. Aku mempunyai uang makan untuk satu bulan ke depan. “Kalau aku membeli ukirannya, bagaimana dengan makanku nanti?” pikirku dalam hati. Aku sendiri seorang perantau di tanah Asmat ini. “Bapa, saya punya sedikit uang makan. Saya bisa beli Bapa punya ukiran tapi seratus ribu. Bapa bisa pakai untuk beli beras sepuluh kilo,” jawabku sambil menatap wajahnya yang kembali lesu.

Tak kusangka seketika raut wajahnya berubah. Air mata membasahi pipinya. Ia berdiri dan memelukku erat. Ia berbisik hampir tak kedengaran, “Anak, terima kasih. Malam ini kami bisa makan. Sudah tiga hari ini kami tidak ada beras,” tuturnya sedih.

Aku terharu dalam dekapannya. Aku berkata, “Bapa, pakai uang seratus ribu ini untuk beli beras. Ukiran ini akan mengingatkanku pada Bapa,” jawabku singkat sembari melepaskan diri dari pelukannya.

Seketika aku teringat pada masa kecilku ketika mengalami musim paceklik pada awal tahun 1990-an di sebuah kampung kecil di Merauke. Aku teringat kembali pada saat kedua orang tua, ayah dan ibu berjuang mencari makanan, beras, sagu, singkong di kampung-kampung tetangga. Waktu itu, sistem barter masih berlaku. Seekor ayam bisa ditukar dengan beberapa tumpuk singkong. Atau sehelai kain tenun dapat ditukar dengan beberapa kilo gram beras.

Tak kusadari, air mataku mengalir. Aku teringat pada sosok ayah dan ibuku yang kini telah beralih ke negeri orang-orang hidup. Keduanya telah pergi ke alam baka dengan meninggalkan keteladanan untuk berbagi. Aku sadar bahwa malam ini dari Surga, keduanya menyaksikan perjumpaanku dengan pengukir ini.

Tiba-tiba terdengar suara dari mulut pengukir itu, “Anak, Bapa pulang. Bapa langsung ke kios untuk beli beras,” tuturnya. Ia melangkahkan kaki meninggalkanku seorang diri. Aku mengantarnya ke depan pintu, sambil berjanji akan mengunjunginya pada hari Sabtu nanti.

Setelah kepergiannya, aku masuk ke dalam kamarku. Aku meraih Kitab Suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang selalu berada di atas kasurku. Aku membuka Injil Matius 25:40. Di sana tertulis dengan jelas kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku.” 

Aku duduk termenung. Saat ini manusia semakin serakah. Korupsi merajalela. Orang miskin dilupakan. Kaum papah terabaikan. Jurang pemisah antara kaum kaya dan miskin semakin menganga lebar. Kaum kaya membangun rumah mewah dengan tembok pembatas. Kaum miskin melarat di kolong jembatan dan emperan toko. Sebagian mereka membangun gubuk di tempat kumuh sekedar menahan panas dan hujan.

Aku bersyukur, malam ini, Tuhan sendiri mengutus pengukir itu untuk mengunjungiku. Ia telah memberikan kesempatan bagiku untuk berbuat baik. Ia juga telah mengingatkanku tentang penderitaan masa kecilku. Kehadirannya malam ini serentak pula membawaku pada kenangan bersama ayah dan ibuku. Kenangan akan perjuangan untuk mendapatkan sesuap nasi kala itu.

Aku semakin penasaran untuk lebih lama bercerita dengan pengukir itu. Tapi, aku harus menunggu hingga hari Sabtu. Sebab, itu adalah hari aku libur. Pada hari itu, aku akan mengunjunginya. Kami akan berbagi cerita tentang kegembiraan dan kesedihan serta harapan akan masa depan yang lebih baik.

Hari Sabtu pun tiba. Cuaca di kota Agats cerah. Sang mentari sudah terbit di ufuk timur. Pukul 06.30 WIT, aku mengayuh sepeda menuju alamat rumah yang diberikan oleh pengukir itu. Jaraknya dari tempat tinggalku tiga kilo meter. Aku melewati jalan komposit. Motor listrik dan sepeda lalu lalang. Para pedagang sudah mulai membuka kios dan warung.

Aku tiba di Jalan Dolog, Pasar Baru. Aku menuju salah satu gubuk yang terletak di belakang pasar itu. “Mama, kenal Bapa yang biasa bikin ukiran kah? Dia bilang tinggal di sini,” tanyaku pada salah satu perempuan Asmat yang berdiri di depan gubuknya. “Anak, dia punya rumah di sana,” jawab perempuan itu sambil menunjuk ke arah gubuk pengukir itu. Jarak antara gubuk perempuan itu dan gubuk milik pengukir hanya sekitar lima puluh meter.

Aku pun mengambil sepedaku dan berjalan ke gubuk tua itu. Tiba-tiba pengukir itu keluar dari gubuknya dan memanggilku. “Anak, Bapa ada di sini. Datang ke sini sudah.” Aku semakin bersemangat menuju gubuk itu.

Pengukir itu menyambutku dengan hangat di depan gubuknya. Wajahnya ceria. Sambil tersenyum ia berujar, “Ini Bapa punya gubuk. Mama ada keluar cari udang di kali dekat pelabuhan. Anak-anak ada ikut mereka punya Mama untuk cari udang. Anak masuk saja ke dalam,” ajaknya. Aku berdiri di depan pintu. Kakiku terasa kaku. Gubuk tua beratapkan daun sagu dan dindingnya hanya ditutupi dengan terpal yang sudah kusam.

Gubuk tua ini berdiri di atas tanah lumpur. Sampah botol plastik menutupi hampir sebagian kawasan kumuh ini. Aroma tak sedap menyengat hidung. Aku terdiam persis di depan pintu gubuk itu. Tiba-tiba terdengar suara, “Anak, mari masuk,” ajak pengukir itu. “Iya, Bapa,” jawabku sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam gubuk itu.

“Anak, saya tinggal di sini sudah tujuh tahun. Kami hanya punya gubuk ini. Kami sudah terbiasa hidup seperti ini. Bapa punya anak-anak juga tidak sekolah. Mereka biasa bantu dorang punya Mama cari udang. Kadang mereka cari kaleng bekas untuk dijual. Biasa uang yang mereka dapat kami pakai untuk beli beras, sayur dan ikan,” kisahnya.

Aku tak banyak bicara. Aku mendengarkan keluh kesahnya. Hatiku getir tatkala ia berujar, “Sekarang di Papua ini, termasuk di Asmat, orang asli Papua yang jadi Bupati, Wakil Bupati dan pejabat di dinas-dinas, tetapi kami punya hidup tetap susah. Tidak ada perlindungan untuk kami orang Asmat. Kami melarat,” tuturnya sembari mengukir sebuah salib berukuran kecil.

Matahari beranjak naik. Aku menengok jam di tanganku. Sudah pukul 12.30 WIT. “Bapa, saya pulang ke rumah. Saya akan datang ke sini lagi,” pamitku pada pengukir itu. Kami bersalaman. Lalu, aku keluar dari gubuk itu. Pengukir itu mengantarku sampai di depan gubuknya. “Anak, jangan lupa datang main-main ke Bapa punya gubuk ini,” pesannya.

Aku pulang dengan membawa sejuta kisah pilu. Kisah tentang ketidakadilan sosial. Kisah manusia saling melupakan dan mengabaikan. Aku melihat gubuk tua. Aku melihat anak-anak tidak bersekolah. Aku melihat betapa susahnya orang miskin memperoleh sesuap nasi.

Aku terdiam. Asmat subur dan kaya sumber daya alam. Ukirannya terkenal ke seluruh dunia. Di Agats berdiri museum kebudayaan yang sangat megah. Sayangnya, para pengukir hidup miskin dan menderita. Apa yang mereka peroleh dari kebudayaan mengukir yang terkenal ke seluruh dunia itu? Apa yang mereka dapatkan dari sumber daya alam yang melimpah itu?

Di saat bersamaan, aku teringat. Setiap pagi, aku melangkahkan kaki ke gereja Katedral Salib Suci, Agats untuk mengikuti Misa. Di dalam gereja yang dibalut aneka ukiran Asmat itu, aku berlutut, berdoa, mendengarkan Sabda Tuhan, menerima Tubuh dan Darah-Nya. Aku hanya sebatas mengikuti Misa.

Di luar Katedral itu, aku mengagumi ukiran Asmat yang terpajang di setiap sudut kota Agats. Aku menikmati keindahan alam Asmat. Aku hanya sebatas mengagumi dan menikmati keindahan Asmat. Aku belum berbuat banyak untuk menolong sesamaku yang menderita di gubuk-gubuk kusam di tanah Asmat ini.

Saat malam tiba, sebelum membaringkan diri dan beristirahat, pikiranku menerawang ke gubuk pengukir itu. Seketika terlintas kata-kata Yesus ini, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Bdk. Matius 22:37-39). (Agats, 7 April 2017; pukul 23.32).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun