“Anak, saya tinggal di sini sudah tujuh tahun. Kami hanya punya gubuk ini. Kami sudah terbiasa hidup seperti ini. Bapa punya anak-anak juga tidak sekolah. Mereka biasa bantu dorang punya Mama cari udang. Kadang mereka cari kaleng bekas untuk dijual. Biasa uang yang mereka dapat kami pakai untuk beli beras, sayur dan ikan,” kisahnya.
Aku tak banyak bicara. Aku mendengarkan keluh kesahnya. Hatiku getir tatkala ia berujar, “Sekarang di Papua ini, termasuk di Asmat, orang asli Papua yang jadi Bupati, Wakil Bupati dan pejabat di dinas-dinas, tetapi kami punya hidup tetap susah. Tidak ada perlindungan untuk kami orang Asmat. Kami melarat,” tuturnya sembari mengukir sebuah salib berukuran kecil.
Matahari beranjak naik. Aku menengok jam di tanganku. Sudah pukul 12.30 WIT. “Bapa, saya pulang ke rumah. Saya akan datang ke sini lagi,” pamitku pada pengukir itu. Kami bersalaman. Lalu, aku keluar dari gubuk itu. Pengukir itu mengantarku sampai di depan gubuknya. “Anak, jangan lupa datang main-main ke Bapa punya gubuk ini,” pesannya.
Aku pulang dengan membawa sejuta kisah pilu. Kisah tentang ketidakadilan sosial. Kisah manusia saling melupakan dan mengabaikan. Aku melihat gubuk tua. Aku melihat anak-anak tidak bersekolah. Aku melihat betapa susahnya orang miskin memperoleh sesuap nasi.
Aku terdiam. Asmat subur dan kaya sumber daya alam. Ukirannya terkenal ke seluruh dunia. Di Agats berdiri museum kebudayaan yang sangat megah. Sayangnya, para pengukir hidup miskin dan menderita. Apa yang mereka peroleh dari kebudayaan mengukir yang terkenal ke seluruh dunia itu? Apa yang mereka dapatkan dari sumber daya alam yang melimpah itu?
Di saat bersamaan, aku teringat. Setiap pagi, aku melangkahkan kaki ke gereja Katedral Salib Suci, Agats untuk mengikuti Misa. Di dalam gereja yang dibalut aneka ukiran Asmat itu, aku berlutut, berdoa, mendengarkan Sabda Tuhan, menerima Tubuh dan Darah-Nya. Aku hanya sebatas mengikuti Misa.
Di luar Katedral itu, aku mengagumi ukiran Asmat yang terpajang di setiap sudut kota Agats. Aku menikmati keindahan alam Asmat. Aku hanya sebatas mengagumi dan menikmati keindahan Asmat. Aku belum berbuat banyak untuk menolong sesamaku yang menderita di gubuk-gubuk kusam di tanah Asmat ini.
Saat malam tiba, sebelum membaringkan diri dan beristirahat, pikiranku menerawang ke gubuk pengukir itu. Seketika terlintas kata-kata Yesus ini, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Bdk. Matius 22:37-39). (Agats, 7 April 2017; pukul 23.32).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H