Tak kusadari, air mataku mengalir. Aku teringat pada sosok ayah dan ibuku yang kini telah beralih ke negeri orang-orang hidup. Keduanya telah pergi ke alam baka dengan meninggalkan keteladanan untuk berbagi. Aku sadar bahwa malam ini dari Surga, keduanya menyaksikan perjumpaanku dengan pengukir ini.
Tiba-tiba terdengar suara dari mulut pengukir itu, “Anak, Bapa pulang. Bapa langsung ke kios untuk beli beras,” tuturnya. Ia melangkahkan kaki meninggalkanku seorang diri. Aku mengantarnya ke depan pintu, sambil berjanji akan mengunjunginya pada hari Sabtu nanti.
Setelah kepergiannya, aku masuk ke dalam kamarku. Aku meraih Kitab Suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang selalu berada di atas kasurku. Aku membuka Injil Matius 25:40. Di sana tertulis dengan jelas kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Aku duduk termenung. Saat ini manusia semakin serakah. Korupsi merajalela. Orang miskin dilupakan. Kaum papah terabaikan. Jurang pemisah antara kaum kaya dan miskin semakin menganga lebar. Kaum kaya membangun rumah mewah dengan tembok pembatas. Kaum miskin melarat di kolong jembatan dan emperan toko. Sebagian mereka membangun gubuk di tempat kumuh sekedar menahan panas dan hujan.
Aku bersyukur, malam ini, Tuhan sendiri mengutus pengukir itu untuk mengunjungiku. Ia telah memberikan kesempatan bagiku untuk berbuat baik. Ia juga telah mengingatkanku tentang penderitaan masa kecilku. Kehadirannya malam ini serentak pula membawaku pada kenangan bersama ayah dan ibuku. Kenangan akan perjuangan untuk mendapatkan sesuap nasi kala itu.
Aku semakin penasaran untuk lebih lama bercerita dengan pengukir itu. Tapi, aku harus menunggu hingga hari Sabtu. Sebab, itu adalah hari aku libur. Pada hari itu, aku akan mengunjunginya. Kami akan berbagi cerita tentang kegembiraan dan kesedihan serta harapan akan masa depan yang lebih baik.
Hari Sabtu pun tiba. Cuaca di kota Agats cerah. Sang mentari sudah terbit di ufuk timur. Pukul 06.30 WIT, aku mengayuh sepeda menuju alamat rumah yang diberikan oleh pengukir itu. Jaraknya dari tempat tinggalku tiga kilo meter. Aku melewati jalan komposit. Motor listrik dan sepeda lalu lalang. Para pedagang sudah mulai membuka kios dan warung.
Aku tiba di Jalan Dolog, Pasar Baru. Aku menuju salah satu gubuk yang terletak di belakang pasar itu. “Mama, kenal Bapa yang biasa bikin ukiran kah? Dia bilang tinggal di sini,” tanyaku pada salah satu perempuan Asmat yang berdiri di depan gubuknya. “Anak, dia punya rumah di sana,” jawab perempuan itu sambil menunjuk ke arah gubuk pengukir itu. Jarak antara gubuk perempuan itu dan gubuk milik pengukir hanya sekitar lima puluh meter.
Aku pun mengambil sepedaku dan berjalan ke gubuk tua itu. Tiba-tiba pengukir itu keluar dari gubuknya dan memanggilku. “Anak, Bapa ada di sini. Datang ke sini sudah.” Aku semakin bersemangat menuju gubuk itu.
Pengukir itu menyambutku dengan hangat di depan gubuknya. Wajahnya ceria. Sambil tersenyum ia berujar, “Ini Bapa punya gubuk. Mama ada keluar cari udang di kali dekat pelabuhan. Anak-anak ada ikut mereka punya Mama untuk cari udang. Anak masuk saja ke dalam,” ajaknya. Aku berdiri di depan pintu. Kakiku terasa kaku. Gubuk tua beratapkan daun sagu dan dindingnya hanya ditutupi dengan terpal yang sudah kusam.
Gubuk tua ini berdiri di atas tanah lumpur. Sampah botol plastik menutupi hampir sebagian kawasan kumuh ini. Aroma tak sedap menyengat hidung. Aku terdiam persis di depan pintu gubuk itu. Tiba-tiba terdengar suara, “Anak, mari masuk,” ajak pengukir itu. “Iya, Bapa,” jawabku sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam gubuk itu.