Saat ini Kampung Bugis telah menjadi salah satu kelurahan yang terletak di Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Dalam catatan sejarah, pascaperseteruan Raja Sulaiman dengan Raja Kecil dari Siak pada tahun 1718, banyak orang dari Sulawesi Selatan (Bugis/Luwu) yang datang ke tanah Melayu.
Orang-orang Melayu menganggap para pendatang ini sebagai saudara karena telah berjasa membantu mereka mengalahkan Raja Kecil dari Siak. Sebagai rasa terima kasih orang-orang Melayu kepada orang Bugis yang telah membantunya, maka mereka kemudian memberikan tempat untuk ditinggali.
Dari masa ke masa orang-orang Bugis pun semakin banyak yang berdatangan dan tempat tersebut lambat laun berkembang menjadi sebuah perkampungan. Suku Bugis/Luwu ini sangat cepat berasimilasi serta berbaur dengan orang-orang Melayu.
Tidak heran jika banyak sekali perpaduan budaya antara Melayu dan Bugis yang dapat dilihat di hampir seluruh wilayah Kepulauan Riau. Kampung yang telah berdiri sejak ratusan tahun ini tentunya terkait erat dengan Sejarah Melayu di Kepulauan Riau yang menempatkan orang-orang Bugis ke dalam tata pemerintahan pada masa lampau.
Mereka yang memiliki posisi dalam pemerintahan ini kemudian disebut dengan para Yamtuan (Yang Dipertuan) yang kedudukannya setara dengan para Zuriat (bangsawan) Melayu.
Kisah Opu Bugis Lima Bersaudara
Dalam bingkai sejarah pra-kemerdekaan Indonesia, perang saudara menjadi hal yang lumrah terjadi dan sering dijumpai di berbagai tempat. Pergolakan-pergolakan terjadi akibat perebutan harta, tahta dan kekuasaan.
Kepulauan Riau yang merupakan bagian dari Alam Ketamadunan Melayu juga mengalami hal yang sama. Johor yang pada saat itu menjadi legasi dari kesultanan Malaka terlibat ke dalam intrik perebutan kekuasaan. Dendam ini muncul karena sebelumnya seorang hulubalang yang bernama Megat Sri Rama bersiasat dengan Bendahara Tun Abdul Jalil untuk membunuh penguasa yang sah yakni Sultan Mahmud Syah (1685-1699). Siasat ini berhasil dan tampuk kekuasaan akhirnya jatuh ke tangan Tun Abdul Jalil dan keluarganya.
Keturunan Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri kejaran Tun Abdul Jalil (Hikmat Ishak, 2001: 52). Peristiwa ini kemudian menimbulkan dendam bagi keturunan dari Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Kecik dari Siak. Ia kemudian meminta bantuan dari orang-orang Minangkabau, Suku Laut, dan persenjataan dari Belanda untuk menggempur Johor. Tun Abdul Jalil kemudian terbunuh dan Johor kemudian berhasil dikuasai oleh Raja Kecik.
Terbunuhnya Tun Abdul Jalil ini rupanya kembali menyebabkan dendam di hati anaknya yaitu Raja Sulaiman. Untuk mengalahkan Raja Kecik dari Siak, Raja Sulaiman meminta bantuan kepada orang-orang yang berasal dari Sulawesi Selatan dengan julukan Opu Bugis Lima Bersaudara. Mereka adalah Daeng Parani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Menambung, dan Daeng Kemasi. Raja Sulaiman dan Opu Bugis Lima Bersaudara akhirnya bersepakat untuk menyerang Raja Kecil.
Perang pun kembali terjadi, Pasukan Raja Sulaiman yang bergabung dengan angkatan perang Bugis kemudian menyerang pasukan Raja Kecil di Bintan dan Siak. Raja Kecil beserta pendukungnya kemudian berhasil dikalahkan. Raja Sulaiman kemudian dinobatkan sebagai Sultan dan di masa kepemimpinannya pusat Kerajaan Johor kemudian dipindahkan ke Pulau Bintan (Ismail Hussein, 1979: 59).
Almarhum Hamid Abdullah (Sejarawan UNDIP) dalam penelitiannya tentang silsilah Melayu Bugis memperoleh informasi tentang sebab musabab terjadinya perantauan Opu Bugis Lima Bersaudara ke Semenanjung Melayu. Kedatangan orang Bugis ini tidak lepas dari hiruk pikuk suasana politik antara Kerajaan Gowa dan Bone yang memperebutkan hegemoni politik di Sulawesi Selatan pada abad ke-17.
Opu Bugis Lima ini adalah merupakan anak-anak dari Opu Tendri Borong Daeng Rilekke yang masih memiliki hubungan dengan kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Kelima bersaudara tersebut terkenal sebagai pelaut yang pemberani dan banyak membantu kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami kesulitan atau peperangan.
Opu Daeng Perani sebagai anak yang tertua memiliki peranan yang penting dalam membantu Raja Sulaiman untuk meraih kemenangan dan menyelamatkan adiknya yakni Tengku Kamariah yang ditawan oleh Raja Kecik pada saat peperangan terjadi. Sebagai penghargaan atas jasanya, Raja Sulaiman kemudian membentuk suatu jawatan dan memberikan gelar kepada Daeng Perani sebagai Yang Dipertuan Muda atau Yamtuan Muda.
Namun demikian, Daeng Perani menolak dan mengusulkan agar yang menjadi Yamtuan atas Johor-Riau diberikan kepada adiknya yakni Daeng Marewah (Yamtuan I).
Sebagai gantinya Raja Sulaiman kemudian menikahkan Daeng Perani dengan adiknya yang bernama Tengku Tengah. Keturunan Opu Daeng Parani lah yang kemudian memegang peranan politik yang besar di dalam pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga. Putera sulungnya yakni Opu Daeng Kemboja (1745 -1777) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau III selepas kemangkatan Opu Daeng Chelak (Abdullah: 1984).
Ada pun keturunannya yang lain yaitu Raja Ali bin Daeng Kemboja bin Daeng Parani (1784 - 1806) juga menjadi Yang Dipertuan Muda setelah Raja Haji Fisabilillah wafat pada saat menentang Belanda di Melaka pada tahun 1784 (Ahmad Farhan bin Abdullah, 2011; 42).
Di kompleks pemakaman ini, para peziarah tidak hanya berasal dari Indonesia saja, melainkan juga berasal dari negara serumpun yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam.
Sebagai penghargaan atas jasa kedua tokoh ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2009 kemudian menerbitkan buku yang berisi silsilah Melayu dan Bugis atau yang dikenal dengan Kitab Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya. Buku ini merupakan alih aksara atau dirumikan dari teks edisi huruf jawi (huruf Arab Melayu) ke bahasa Indonesia.
Kampung Bugis dan Keunikannya
Eratnya keterkaitan sejarah antara Suku Bugis dengan Masyarakat Melayu yang telah berlangsung sejak lama, menyebabkan proses asimilasi budaya dapat berjalan dengan baik. Anak keturunan Bugis ini kemudian fasih dalam berbahasa melayu dan mampu menyatu dengan resam adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Melayu.
Sehingga pada saat ini, sangatlah sulit membedakan antara orang Melayu dengan orang Bugis yang menetap di Tanjungpinang. Apabila kita menyusuri Kampung Bugis, masih banyak dijumpai rumah-rumah yang bercirikan adat Bugis dengan bentuk memanjang ke belakang dan tambahan di samping bangunan utama serta bagian depan.
Tambahan bangunan ini biasa disebut dengan "lego-lego". Pada masa sekarang ini kebanyakan generasi muda keturunan dari orang Bugis/Luwu sudah tidak begitu fasih dalam berbahasa Bugis.
Namun demikian, masyarakat Kampung Bugis masih menggunakan pakaian adat Baju Bodo untuk perempuan dan laki-lakinya menggunakan Baju Lipa Sabe yang atasannya menggunakan jas dalam prosesi penyambutan atau penyelenggaraan acara-acara tertentu. Barongko juga masih menjadi sajian kuliner yang bisa dijumpai di kampung ini hingga sekarang.
Rupanya, hal yang juga tetap dipertahankan hingga sekarang oleh kebanyakan keturunan Bugis ini adalah mengandalkan kehidupan dari profesi menjadi nelayan.
Seperti nenek moyangnya, nelayan-nelayan dari Kampung Bugis di Tanjungpinang dikenal sebagai nelayan yang berani dalam melaut dan ahli dalam menyelam.
Dari data sensus yang telah dilakukan oleh pemerintah Tanjungpinang, pada 2014 terdapat setidaknya 273 orang yang berprofesi sebagai nelayan dengan cara tangkap dan teknis pekerjaan yang berbeda dalam lingkup nelayan.
Sebagian besar dari mereka merupakan anak keturunan Bugis dan selain melaut untuk mencari ikan, mereka juga membudidayakannya, mengolah sumber daya perikanan, atau pun menjadi pedagang ikan (Iskandar, 2014: 12).
Ciri khas yang menandai kawasan ini adalah terdapat "Pelantar" yang merupakan tempat mirip seperti dermaga. "Pelantar" digunakan untuk bersandarnya perahu serta menaikan dan menurunkan penumpang maupun hasil laut. "Pelantar" pun juga menjadi tempat favorit bagi orang-orang di Kampung Bugis untuk bercengkrama.
Selain itu, banyak diantara orang-orang Kampung Bugis yang gemar menghabiskan waktunya di kedai kopi selepas mereka melakukan pekerjaan. Bagi kaum laki-laki, kedai kopi adalah arena sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Ditempat ini bangku-bangku dan meja sengaja disusun seperti sebuah ruang diskusi dan tanpa sekat.
Mereka pun bisa berbicara lepas, bertukar informasi, dan membahas segala isu yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. (Silfia Hanani, 2017: 216).
Metamorfosis Kampung Bugis Menjadi Destinasi Wisata Unggulan
Dahulu, sejak puluhan tahun lamanya masyarakat Tanjungpinang pada umumnya mengenal Kampung Bugis sebagai salah satu wilayah yang kumuh. Masalah sampah menjadi musuh utama yang membuat kondisi Kampung Bugis terlihat sangat memprihatinkan. Lingkungan yang terkenal kotor ini menjadikannya sebagai salah satu dari tujuh wilayah kumuh yang berada di Kota Tanjungpinang. Sampah-sampah yang berserakan di bawah pelantar adalah hal biasa dilihat ketika memasuki Kampung Bugis.
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kota Tanjungpinang bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Pertanahan Nasional kemudian melakukan upaya pembenahan pada tahun 2018. Penanganan kawasan kumuh terintergrasi kemudian dilakukan dengan tujuan agar kualitas hidup masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman tersebut menjadi lebih baik.
Setidaknya 60 Miliar digelontorkan oleh pemerintah untuk penataan kawasan kumuh yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, seperti penyuluhan, membangun pelantar yang memadai, menyediakan sarana dan prasarana air bersih, melakukan bedah rumah, termasuk dibangun pelantar lingkar yang memudahkan akses masyarakat untuk masuk ke Kampung Bugis.
Bentuk kolaborasi yang dilakukan untuk mengatasi problem kumuh di Kampung Bugis dimulai dari pembentukan data baseline dan duduk bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam upaya perencanaan. Tentunya, hal ini dilakukan dengan melibatkan semua para pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan bersama. Pendekatan adat istiadat juga dilakukan untuk membangun kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Nilai leluhur dalam pepatah Bugis kemudian digunakan untu mengajarkan tentang arti kebersihan. Seperti "Aja Munampui Tanae, Mataruko" artinya "Jangan Menumbuk Tanah, Nanti Kamu Bisa Tuli". Pepatah ini memiliki maksud agar manusia hidup janganlah mengotori dirinya sendiri.
Kemudian "Aja Muanre Tebbu Ri Leuremmu, Matei Indo'mu" yang artinya "Jangan Makan Tebu di Tempat Tidur, Akan Mati Ibumu". Pepatah ini memiliki maksud bahwa orang Bugis janganlah suka membuang kotoran sembarangan karena dapat di kerumuni semut dan menimbulkan penyakit. Filosofi ini sama hal nya ketika digunakan dalam menjaga kualitas air bersih karena dengan menjaga kebersihan air, maka air itu tidak akan terkontaminasi oleh bahan-bahan yang berbahaya (Apritania, 2016: 9-10).
Usaha ini pun ternyata berhasil dilakukan. Hingga pada bulan November 2018, setidaknya telah terdapat 4 titik di Kampung Bugis yang telah dijadikan sebagai destinasi wisata. Lokasi tersebut antara lain Jembatan Pelangi, Kolong Langit Kampung Bugis, Wisata Sampan, dan Desa Pelangi Kampung Bugis.
Keberhasilan metamorfosis Kampung Bugis ini menjadi contoh bahwa pola kebiasaan masyarakat dapat tertanam karena faktor keluarga, lingkungan, dan nilai adat istiadat. Pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator karena tanpa adanya kesadaran dari masyarakat maka membangkitkan kembali Kampung Bugis sebagai kawasan historis yang berbudaya tidak akan terwujud.
*Tulisan ini dipersembahkan untuk Almarhum Prof. Dr. Hamid Abdullah, Ph.d, Guru Besar Seluruh Alumni Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro.
Sumber:
- Ahmad Farhan bin Abdullah, Opu Bugis Lima Bersaudara: Peranan Daeng Manambun ibni Daeng Rilekkek dalam Kerajaan di Alam Melayu pada Abad ke-18 (Kuala Lumpur: Universitas Malaya, 2011).
- Apritania, Konstruksi Sosial Hidup Bersih dan Sehat Masyarakat Kelurahan Kampung Bugis Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau (Tanjungpinang: UMRAH, 2016).
- Hamid Abdullah, Peranan Militer Bugis pada Abad ke-18 di Semenanjung Melayu dalam Analisis Kebudayaan (Semarang: Universitas Dipenogoro).
- Hikmat Ishak, Warisan Riau: Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris (Pekanbaru: Yayasan Warisan Riau, 2001).
- Iskandar, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Kelurahan Kampung Bugis Kecamatan Tanjungpinang Kota Tahun 2011-2012 (Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2014).
- Ismail Hussein, Hikayat Siak: Dirawikan oleh Tengku Said (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992).
- Silfia Hanani, Studi Negosiasi Kultural Yang Mendamaikan Antaretnik Dan Agama Di Kota Tanjungpinang (Padang: IAIN Bukittinggi, 2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H