Dahulu, sejak puluhan tahun lamanya masyarakat Tanjungpinang pada umumnya mengenal Kampung Bugis sebagai salah satu wilayah yang kumuh. Masalah sampah menjadi musuh utama yang membuat kondisi Kampung Bugis terlihat sangat memprihatinkan. Lingkungan yang terkenal kotor ini menjadikannya sebagai salah satu dari tujuh wilayah kumuh yang berada di Kota Tanjungpinang. Sampah-sampah yang berserakan di bawah pelantar adalah hal biasa dilihat ketika memasuki Kampung Bugis.
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Kota Tanjungpinang bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Pertanahan Nasional kemudian melakukan upaya pembenahan pada tahun 2018. Penanganan kawasan kumuh terintergrasi kemudian dilakukan dengan tujuan agar kualitas hidup masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman tersebut menjadi lebih baik.
Setidaknya 60 Miliar digelontorkan oleh pemerintah untuk penataan kawasan kumuh yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, seperti penyuluhan, membangun pelantar yang memadai, menyediakan sarana dan prasarana air bersih, melakukan bedah rumah, termasuk dibangun pelantar lingkar yang memudahkan akses masyarakat untuk masuk ke Kampung Bugis.
Bentuk kolaborasi yang dilakukan untuk mengatasi problem kumuh di Kampung Bugis dimulai dari pembentukan data baseline dan duduk bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam upaya perencanaan. Tentunya, hal ini dilakukan dengan melibatkan semua para pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan bersama. Pendekatan adat istiadat juga dilakukan untuk membangun kembali kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Nilai leluhur dalam pepatah Bugis kemudian digunakan untu mengajarkan tentang arti kebersihan. Seperti "Aja Munampui Tanae, Mataruko" artinya "Jangan Menumbuk Tanah, Nanti Kamu Bisa Tuli". Pepatah ini memiliki maksud agar manusia hidup janganlah mengotori dirinya sendiri.
Kemudian "Aja Muanre Tebbu Ri Leuremmu, Matei Indo'mu" yang artinya "Jangan Makan Tebu di Tempat Tidur, Akan Mati Ibumu". Pepatah ini memiliki maksud bahwa orang Bugis janganlah suka membuang kotoran sembarangan karena dapat di kerumuni semut dan menimbulkan penyakit. Filosofi ini sama hal nya ketika digunakan dalam menjaga kualitas air bersih karena dengan menjaga kebersihan air, maka air itu tidak akan terkontaminasi oleh bahan-bahan yang berbahaya (Apritania, 2016: 9-10).
Usaha ini pun ternyata berhasil dilakukan. Hingga pada bulan November 2018, setidaknya telah terdapat 4 titik di Kampung Bugis yang telah dijadikan sebagai destinasi wisata. Lokasi tersebut antara lain Jembatan Pelangi, Kolong Langit Kampung Bugis, Wisata Sampan, dan Desa Pelangi Kampung Bugis.
Keberhasilan metamorfosis Kampung Bugis ini menjadi contoh bahwa pola kebiasaan masyarakat dapat tertanam karena faktor keluarga, lingkungan, dan nilai adat istiadat. Pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator karena tanpa adanya kesadaran dari masyarakat maka membangkitkan kembali Kampung Bugis sebagai kawasan historis yang berbudaya tidak akan terwujud.
*Tulisan ini dipersembahkan untuk Almarhum Prof. Dr. Hamid Abdullah, Ph.d, Guru Besar Seluruh Alumni Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro.
Sumber:
- Ahmad Farhan bin Abdullah, Opu Bugis Lima Bersaudara: Peranan Daeng Manambun ibni Daeng Rilekkek dalam Kerajaan di Alam Melayu pada Abad ke-18 (Kuala Lumpur: Universitas Malaya, 2011).
- Apritania, Konstruksi Sosial Hidup Bersih dan Sehat Masyarakat Kelurahan Kampung Bugis Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau (Tanjungpinang: UMRAH, 2016).
- Hamid Abdullah, Peranan Militer Bugis pada Abad ke-18 di Semenanjung Melayu dalam Analisis Kebudayaan (Semarang: Universitas Dipenogoro).
- Hikmat Ishak, Warisan Riau: Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris (Pekanbaru: Yayasan Warisan Riau, 2001).
- Iskandar, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Kelurahan Kampung Bugis Kecamatan Tanjungpinang Kota Tahun 2011-2012 (Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji, 2014).
- Ismail Hussein, Hikayat Siak: Dirawikan oleh Tengku Said (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992).
- Silfia Hanani, Studi Negosiasi Kultural Yang Mendamaikan Antaretnik Dan Agama Di Kota Tanjungpinang (Padang: IAIN Bukittinggi, 2017).