"Tak usah," sela Ke cepat, "Aku tahu kau tidak ingin memesan kopi. Kau kemari hanya ingin menemuiku."
Aku nyaris ternganga. Gadis satu ini benar-benar percaya diri mengungkapkan apa yang dipikirkannya.
"Jadi, ceritakan padaku, bagaimana liburanmu hari ini di Bali?"
Kami mengobrol dan mengobrol. Jarum jam terus berputar. Peduli amat ini jam berapa. Aku sedang menikmati keberadaannya di sisiku. Semakin lama kami mengobrol, semakin dalam aku jatuh dalam relung-relung bernama asmara.
Perasaan ini datang terlalu cepat. Apakah yang kurasakan ini salah? Setelah sekian lama tidak berani merasakan perasaan ini.... Tidak, aku yakin aku tidak salah. Ke telah menyembuhkanku. Ke penyelamatku.
Mendadak hawa di kedai menjadi sedikit lebih dingin. Suara rintik hujan menimpa jalanan menghentikan pembicaraanku dan Ke. Gadis itu menoleh, memandang kegelapan malam, mencoba mencari bukti hujan turun.
Ke berdecak, "Jarang sekali hujan turun di bulan Juni yang panas."
Semakin banyak bulir air menghujam jalanan. Kini bunyinya bergemuruh. Bagian depan kedai kopi basah semua. Air melapisi meja dan kursi persegi panjang. Udara semakin dingin. Aku memandang Ke yang hanya memakai kaus merah. Ia pasti kedinginan. Segera kulepas jumper biruku dan kusodorkan padanya.
"Pakailah. Mungkin agak kebesaran, tapi pasti hangat."
"Sopan santun klasik khas cowok," katanya lembut sambil tersenyum, "Terima kasih, tapi tidak usah. Nanti kamu kedinginan."
"Jawaban klasik khas cewek. Tak usah basa-basi. Aku baik-baik saja."