Sementara, berita yang dihasilkan dari jerit payah jurnalis di lapangan yang memegang teguh etika jurnalistik dalam penulisan justru tidak laku. Jarang mendatangkan pembaca.
Tren itu seperti memaksa beberapa jurnalis, editor memproduksi berita-berita yang bombastis meski nilai kebenaranya masih diragukan. Media yang harusnya menjawab kebohongan justru di beberapa kasus ikut menyebarkan kebohongan.
Ya itu tadi, demi mendapatkan viewer yang banyak. Mereka kini sudah menjadi hamba visitor. Menghamba pada naik turunnya traffic pembaca yang ujung-ujungnya memompa produksi uang dari kantong-kantong pengiklan.
Sebegitu parah kah media online kita?
"Tidak semua yang begitu," ujar kawan saya tadi.
Dia mengaku masih menghindari berita-berita bombastis, dramatis dan sejenisnya yang dicomot dari akun-akun media sosial yang jelas belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi ya itu tadi. Harus tahan sambil mengelus dada melihat traffic pembaca yang sepi.
Lantas, saya sebagai jurnalis bertanya-tanya dalam hati, apa yang patutnya dipertahankan dalam tradisi berita kita. Kebenaran atau selera pembaca?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H