Mohon tunggu...
Hendra Efivanias
Hendra Efivanias Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Peminat buku, gitar dan perbuatan baik Twitter: @hendraefivanias IG: @hendra_fals

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mau jadi Jurnalis atau Hamba Visitor?

1 Agustus 2017   22:15 Diperbarui: 6 Agustus 2017   23:56 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: realmatch.com

Sebuah media online yang terafiliasi dengan grup media nasional menayangkan berita "heboh" tentang seorang pria yang tampak kesakitan karena (maaf) kemaluannya dijepit kepiting. Dengan bahasa dramatis, berita itu disuguhkan kepada pembaca.

Si penulis, dalam pandangan saya, seolah-olah ada di lokasi kejadian saat peristiwa itu terjadi. Lewat kata dan kalimat yang ia tulis, ia begitu yakinnya menggambarkan rasa sakit yang dialami si pria itu dengan kalimat seperti "penderitaan yang tak terbayangkan".

Si penulis cukup rinci menceritakan bagaimana respon orang-orang yang ada di sekitar dan menolong pria tadi. Bahkan dia mencantumkan lead yang menurutnya sudah umum bagi banyak orang.

Uniknya, si penulis atau wartawan sebenarnya tidak ada di lokasi kejadian. Bahkan, dimana peristiwa itu terjadi ia tidak cantumkan dalam berita. Kapan kejadian, siapa nama pria yang ditulisnya dijepit kepiting, siapa nama orang-orang yang menolong itu pun tak sedikitpun dimuat dalam tulisan.

Tak hanya itu, kapan waktu kejadian dan kenapa bisa terjadi pun tak disebut. Padahal, semua pertanyaan di atas harusnya terjawab dalam sebuah karya jurnalistik. Setidaknya begitu saya diajarkan saat baru terjun ke dunia jurnalis sekitar 11 tahun lalu.

Dalam berita itu, saya tidak melihat sedikitpun ketaatan si penulisnya pada rumus paling dasar tulisan jurnalistik. Bahkan, saya dapat memastikan, si penulis, bahkan editornya tak bisa meyakinkan bahwa peristiwa itu memang benar-benar terjadi dan bukan rekayasa.

Bagaimana tidak. Si penulis, dengan tulisannya yang dramatis merangkai kata demi kata hanya berdasarkan video berdurasi 1 menit 19 detik yang viral di media sosial. Si penulis menyebut, sejak di unggah di halaman Facebook (yang sama sekali tanpa disertai alamat tautannya), video sudah ditonton lebih 12 juta kali.

Wow kah??

Ya jelas wow jika video itu memang benar adanya. Namun, jika ternyata video itu hanya rekayasa, maka si jurnalis, editor termasuk media yang menayangkannya telah mengabaikan etika kewartawanan.

"Tapi dengan berita begitu visitornya justru banyak," celetuk seorang kawan yang sehari-hari berjibaku di depan komputer agar berita yang dimuat di media online tempatnya bekerja dibaca khalayak ramai.

Masih menurut kawan saya itu, pembaca saat ini memang lebih senang dengan berita-berita dramatis begitu. Berita-berita yang mengisahkan darah, air mata dan sperma (kiasan untuk berita berbau seksualitas) menjadi trending setiap hari.

Sementara, berita yang dihasilkan dari jerit payah jurnalis di lapangan yang memegang teguh etika jurnalistik dalam penulisan justru tidak laku. Jarang mendatangkan pembaca.

Tren itu seperti memaksa beberapa jurnalis, editor memproduksi berita-berita yang bombastis meski nilai kebenaranya masih diragukan. Media yang harusnya menjawab kebohongan justru di beberapa kasus ikut menyebarkan kebohongan.

Ya itu tadi, demi mendapatkan viewer yang banyak. Mereka kini sudah menjadi hamba visitor. Menghamba pada naik turunnya traffic pembaca yang ujung-ujungnya memompa produksi uang dari kantong-kantong pengiklan.

Sebegitu parah kah media online kita?

"Tidak semua yang begitu," ujar kawan saya tadi.

Dia mengaku masih menghindari berita-berita bombastis, dramatis dan sejenisnya yang dicomot dari akun-akun media sosial yang jelas belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Tapi ya itu tadi. Harus tahan sambil mengelus dada melihat traffic pembaca yang sepi.

Lantas, saya sebagai jurnalis bertanya-tanya dalam hati, apa yang patutnya dipertahankan dalam tradisi berita kita. Kebenaran atau selera pembaca?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun