Apakah yang anda rasakan ketika anda melihat seorang anak umur 1 tahun dapat mengerti arti sebuah kata yang diberikan kepadanya? Sekalipun ia belum dapat mengucapkan kata tersebut, namun ia mampu memahami dan menunjukkan arti kata yang dimaksud oleh kita?
Apakah yang anda pikirkan ketika anda menyaksikan seorang anak berumur 2 tahun dapat  membaca kata demi kata yang diberikan kepadanya? Apakah yang anda ingin ketahui ketika anda menyaksikan seorang anak berumur 3 tahun mampu membuat dan membaca kalimat sederhana melalui keyboard komputer ataupun papan ketik handphone? Hanya anda yang bisa menjawab.
Namun secara pengalaman pribadi, sampai hari ini, saya masih terkagum-kagum oleh kemampuan anak kami, Josh. Kemampuannya membaca dari hari ke hari semakin mengagumkan dan perbendaharaan kata yang semakin banyak membuat saya tidak habis mengerti betapa luar biasanya kemampuan otak dari Sang Pencipta kepada seorang anak yang berumur 3 tahun. Sebagai pendidik, saya tahu bahwa otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Keduanya terbelah persis di tengah kepala, dari depan ke belakang.
Saya juga tahu, bahwa otak manusia itu memiliki 1 triliun sel otak, yang terdiri dari 100 milyar sel aktif, dan 900 milyar sel yang menghubungkannya. Selain itu manusia juga memiliki Multiple Intelengence, bakat dan minat serta talenta. Namun saya tetap tidak habis berpikir bagaimana caranya Allah membuat ia mampu mengikuti pelajaran yang disusun oleh ibunya, bahkan lebih dari itu.Â
Josh juga mengerti kehidupan kami, ia tahu bahwa kami harus bekerja, ia tahu tidak boleh menganggu ayahnya kalau sedang beristirahat, ia mengerti dan bersimpati bila ibunya mengalami kesakitan, dan dari sisi intelektualitas. Di usianya yang masih dini, ia mampu menghafal beberapa cerita yang tertulis dalam buku cerita yang pernah dibacakan baginya, ia mampu mengerti arah dan mengenali tempat dengan detail, ia  mampu menghafal dialog film-film Barney, Diego dan cerita heroik (Reki Ranger ataupun Ultraman). Anak kami Josh, mampu mengingat setiap kisah dan urutan kalimat dalam buku cerita ataupun film tersebut dengan tepat.
Memang sejak umur satu tahun lebih, istri saya, Yuli, telah melatih ia membaca kata-kata dalam bahasa Inggris. Hampir setiap hari, terkadang sore ataupun malam, istri saya selalu menyiapkan waktu menyusun kata-kata baru untuk Josh, dan hasilnya sungguh dapat kami lihat di hari ini.
Takkala ia telah berumur 3 tahun, ia sepertinya tidak mengalami kesulitan membaca satu kalimat. Bahkan melalui pelatihan-pelatihan demikian, ia dapat menyusun kalimat yang baik ketika berbicara dengan orang lain. Kalimat dengan struktur dan tata bahasa yang baik. Mengamati apa yang dilakukan oleh istri saya, saya menyimpulkan beberapa prinsip di bawah ini yang mungkin dapat dipakai oleh orangtua untuk melatih anaknya membaca di usia balita. Beberapa prinsip tersebut adalah :
1. Pahamilah bahwa anak adalah anak.
Sebagai orangtua di jaman ini, saya percaya kita semua ingin anak kita berkembang dengan baik, bahkan kalau bisa bukan hanya baik, tetapi sempurna. Itulah sebabnya, ada begitu banyak orangtua yang berusaha memaksimalkan waktu dan "memaksakan" anak untuk belajar sebanyak-banyaknya hal ketika mereka anak-anak. Anak-anak di sekolah kami merupakan contoh yang jelas. Orangtua sudah merencanakan begitu banyak aktivitas belajar bagi anaknya.
Misalnya sejak kelas TK, orangtua sudah memberikan les musik, les melukis, les menulis bahkan ada yang mengharuskan anaknya mengikuti les matematika ketika mereka pulang sekolah. Tentu dapat kita bayangkan, betapa "sibuk"nya anak kita, bahkan lebih sibuk dari orangtuanya, dan jangan lupa, betapa lelahnya mereka setiap hari dengan kondisi demikian.
Pulang les sudah melewati waktu makan malam, dan dengan keadaan badan yang letih, ia harus tidur supaya besok pagi dapat bangun untuk pergi ke sekolah. Bayangkanlah kondisi anak yang demikian selama bertahun-tahun. Betapa sengsaranya hidup yang demikian.
Saya sering menemukan bahwa kondisi demikian membuat anak-anak stress sehingga bukan semangat dan prestasi yang diperoleh, namun justru penurunan semangat belajar dan kehilangan tenaga untuk mampu menangkap pelajaran di kelas dengan baik,dan ada kasus tertentu seorang anak justru menjadi benci kepada pelajaran.
Situasi yang tidak mendukung anak ini bukan hanya terjadi di sekolah kami, tetapi saya yakin juga terjadi di beberapa sekolah yang lain. Bercermin kepada hal ini, dan berdasarkan akibat buruk di masa depan, maka orangtua harus menyadari bahwa anak kita tetaplah seorang anak.
Artinya, sebagai orangtua, kita musti menyadari bahwa anak kita itu terbatas, ia belum memiliki tenaga dan kekuatan seperti orang dewasa. Ia memerlukan lebih banyak waktu untuk menyesuaikan dirinya terhadap sesuatu dan ia adalah pribadi yang memerlukan kehidupannya sebagai seorang anak kecil, bermain,berimajinasi dan melakukan aktivitas yang ia suka serta menikmati waktu pribadinya.
Saya tidak tahu anda setuju dengan saya atau tidak, namun saya berpendapat bahwa anak saya haruslah menikmati waktunya sebagai seorang anak. Itulah sebabnya, kami berusaha tetap memperlakukan ia sebagai seorang anak. Sekalipun ia harus belajar menulis dan membaca, kami tetap memberikan pelajaran "dalam porsi dan cara" sebagai seorang anak balita.
Keseimbangan proses pembelajaran dan kebutuhannya bermain, menonton film anak-anak, waktu tidur sebagai seorang anak menjadi prioritas bagi kami. Kami tahu bahwa yang terbaik bagi Josh adalah tetap melihat dan memperlakukan ia sebagai anak-anak.
 2. Gunakan metode belajar sambil bermain
Prinsip kedua ini merupakan lanjutan pemahaman dari prinsip pertama yaitu kembali kita mengingat bahwa anak balita kita adalah seorang anak-anak. Ia memiliki kondisi fisik dan perasaan dalam keadaan sebagai anak-anak. Sehingga ketika kita mengajar ia membaca ataupun proses belajar yang lain, gunakanlah metode belajar sambil bermain.
Dalam proses pembelajaran, orangtua harus kreatif dalam cara penyampaian materi sehingga tercapai kompetensi atau tujuan pembelajaran tersebut. Di sini, orangtua dituntut mampu berinteraksi dan mengajar dengan metode bermain yang bersifat edukatif dan aman bagi anak. Misalnya, topik pembelajaran tentang binatang. Tujuan yang ingin kita capai adalah anak kita mengerti jenis-jenis binatang dan mampu membedakan suara binatang.
Maka sebagai pengajar, kita dapat menggunakan metode "bermain peran". Orangtua dapat menirukan suara binatang tertentu, dan menyuruh anak untuk menebak ataupun ikut menirukan suara binatang tersebut. Jikalau orangtua dapat memainkan peran tersebut dengan baik, saya percaya anak kita pasti menyukai waktu dan proses belajar. Dalam prinsip ini, kita juga harus ingat satu hal yaitu ciptakanlah suasana belajar yang santai dan menyenangkan. Jikalau suasana tegang dan serius, anak kita akan ternganggu perasaan, mental dan pikirannya.
3. Jangan paksakan kehendak kita
Ada kalanya Josh tidak mau belajar. Ada waktu-waktu tertentu ia menolak untuk membaca dan belajar. Kami sebagai orangtua merasa bahwa tindakan paling tepat di saat itu adalah "biarkan" dia dengan keinginannya. Setiap kali ketika waktu belajar tiba, istri saya selalu menanyakan kepadanya apakah mau membaca atau belajar? Kami memang membiasakan dia mengambil keputusan sejak kecil. Saya ingat, sejak umur 1 tahun, kami selalu memberikan ia kesempatan untuk mengambil keputusan terhadap hidupnya, termasuk dalam hal belajar ini.
Mungkin saja ada orangtua yang berkata, "mana mungkin anak umur 1 tahun dapat mengambil keputusan yang tepat?". Kami setuju bahwa belum tentu ia dapat mengambil keputusan yang tepat, namun bagi kami, jiwa dan mental "berani" mengambil keputusan jauh lebih penting dari pada keputusan itu tepat atau tidak. Bila waktu belajar tiba dan ia menolak untuk belajar, maka kami tidak akan memaksakan kehendak kami.
Kami mencoba memberikan ia tanggung jawab terhadap dirinya, dan ketika kami melakukan hal demikian, kami melihat bahwa justru ia lebih semangat belajar. Ia tidak merasa bahwa belajar itu membuat ia  tertekan. Justru dengan sikap kami yang demikian, kami menyimpulkan bahwa ia mengerti, belajar adalah sebuah keuntungan baginya, karena dengan demikian ia akan menjadi  tahu banyak hal.
Inilah yang membuat ia semakin giat belajar. Bahkan yang seringkali terjadi adalah ia sendiri meminta dan mau belajar. Dalam pengamatan saya, sebenarnya ia jauh lebih banyak "mau" belajar dari pada tidak.
Di atas semua hal tentang mengajar anak membaca atau menulis, satu hal yang jauh lebih penting adalah ingatlah bahwa tujuan kita mengajar anak membaca dan menulis, ataupun aktivitas belajar yang lain, bukan semata-mata untuk mengejar prestasi dan meningkatkan kemampuan anak, namun prioritas utama adalah untuk menciptakan hubungan yang semakin dekat, semakin dalam dan semakin baik dengan anak kita.
Kejarlah kedalaman kasih dan relasi antara orangtua dengan anak, bukan prestasi spektakuler yang didasarkan kepada keinginan orangtua. Janganlah menjadikan anak sebagai  alat pencapaian cita-cita kita yang tidak teraih di masa lalu.Â
SELAMAT MENJADI ORANGTUA YANG MEMILIKI PRIORITAS MENGAJARKAN MAKNA KEHIDUPAN KEPADA ANAK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H