Mohon tunggu...
Perwita Suci
Perwita Suci Mohon Tunggu... Freelancer - Student

Happiness Girl

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Cerpen: Bersama Ayah

12 November 2020   11:25 Diperbarui: 12 November 2020   11:32 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

You're just to good to be true.. 

Tak berlebihan rasanya kalau kalimat itu digunakan untuk menggambarkan sosok ayah. 

Sekitar 20 tahun yang lalu, aku masih ingat bagaimana suara deru mesin motor ayah yang berbunyi setiap pagi bersahut-sahutan dengan isakan tangis anak perempuannya. Ya, bukan hal baru kalau ayahnya pergi pasti anak semata wayangnya itu selalu nangis, karena ia ingin ikut dengan ayahnya.

Sampai pada akhirnya ayah tidak tega meninggalkan anak perempuannya. Dia mengajak aku yang masih berusia tiga tahun itu ke tempat kerjanya. Sesampainya di tempat kerja, banyak yang menyapa ayah dan keheranan mengapa ia bekerja dengan membawa anak. Bukan ayah namanya jika ia tak jujur dengan atasan. Ayah lalu mengajakku ke ruangan bosnya dan meminta izin agar aku diperbolehkan berada di kantor. 

Hampir tak percaya, ternyata bos ayah sangat baik. Bahkan ia memberiku permen yang memang selalu tersedia di meja kerjanya. Sepanjang ayah bekerja, aku sering diajak main oleh teman-teman di kantornya, terutama yang perempuan.  Waktu makan siang-pun tiba. Hari ini ayah harus mengeluarkan uang lebih banyak karena aku tidak mungkin makan di warteg tempat biasa ayah makan. 

Berhubung di depan kantor ada satu franchise yang terkenal dengan tokoh badut Ronald, akhirnya ayah mengajakku makan siang disana. Senang bukan main aku diajak makan disana, tempat makan itu memiliki perosotan di dalamnya. Ayah pun memesan makan siang untuk kami. 

Ya.. bukan hal mudah bagi ayah untuk menyuruh anak perempuannya ini makan. Hanya sekitar 5 suap yang berhasil ayah masukkan ke dalam mulutku. Sementara aku masih asyik dengan mainan Snopy-hadiah dari makan siang ini.  

Singkat cerita, ayah jadi lebih sering mengajakku ke kantornya. Entah karena ia tak tega melihat anaknya menangis atau memang sudah menjadi kebiasaan. 

Tapi hari-hari selanjutnya aku tidak diizinkan untuk bermain di kantornya, dan ayah menitipkanku pada seorang pegawai di restoran franchise depan kantornya. Tak heran kalau setiap hari aku bisa meneguk bergelas-gelas cola. 

Sampai pada satu hari, badanku panas. Tentu saja ibu tidak mengizinkan-ku untuk ikut ayah ke kantor. Seharian aku tidak bisa menelan makanan apapun karena perutku sakit. Akhirnya ibu memutuskan untuk membawaku ke Rumah Sakit. Dan dokter bilang aku harus menginap dulu di rumah sakit. Banyak selang-selang menggantung yang menancap di tubuhku. 

Setiap siang, ibu menemaniku di Rumah Sakit, dan malamnya bergantian dengan ayah. Pada satu malam ayah mengajakku jalan-jalan menyusuri koridor rumah sakit yang dingin dan dikelilingi aroma obat yang menusuk hidung. 

Ayah menuntunku turun dari ranjang dan membawa infusan di tangan kirinya dan menggandengku dengan tangan yang satunya. Sepanjang perjalanan ia banyak sekali bercerita. Satu diantaranya adalah cerita tentang Kancil dan Buaya---yang sampai saat ini aku masih hafal ceritanya. Puas berkeliling Rumah Sakit, ayah mengajakku kembali ke kamar. Sebelum aku tidur, ayah berbisik kepadaku 

"Ayoo cepet sembuh, ayah kemarin lihat ada mainan baru loh di Mekdi." Ucap ayah berbisik ke telingaku. Dan seketika itu pula, aku bertekad untuk segera sembuh dan pergi ke Mekdi. 

Dan ajaib, keesokan harinya tubuhku berangsur membaik. Saat dokter memeriksaku, dia bilang besok aku sudah boleh pulang. Aku senang bukan main, akhirnya aku sudah tidak harus lagi minum obat dan makan bubur yang tidak ada rasanya itu. Aku ingin cepat-cepat makan ayam goreng dan punya mainan baru tentunya. 

Keesokan harinya, ayah datang membuka pintu kamar. Aku langsung menyadari kalau hari ini ayah terlihat lebih lelah dari biasanya. Matanya yang biasa terbuka lebar, sekarang agak sayup. Tapi semua itu tak menghilangkan senyum  dari wajahnya.

"Horee.. anak ayah udah sembuh, mau makan Mekdi ya?" Ulas ayah dengan nada girang sambil menggendong ku

"Iyaa.. abis ini langsung ke Mekdi ya!" Tanyaku memburu ayah 

"Iyaa.. langsung wusssh.. kita ke Mekdi" Tukas ayah

Aku sangat menikmati perjalanan pulang dari Rumah Sakit. Sudah terbayang betapa nikmatnya ayam goreng plus cola dan tentunya mainan terbaru dari Mekdi. 

Kala itu jalanan agak ramai, ayah memacu motor seperti biasanya. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menyerempet motor ayah. 

Deerrrrrr.. 

Motor ayah pun jatuh di jalanan. Aku sayup-sayup melihat banyak orang bergerumul, tapi tak sedikit pun aku melihat ayah. Pandanganku mulai gelap, dan akupun tak sadarkan diri. 

Aroma obat yang tak asing menusuk hidungku, dan aku terbangun diatas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tanganku. Ibu langsung memeluk-ku, sambil mennagis. Awalnya aku pikir itu tangisan bahagia, karena anak semata wayangnya masih bisa kembali ke dunia. 

Setelah merenggangkan pelukannya, ibu menggendong ku dan mendorong infusan keluar dari kamar. 

"Kita lihat ayah ya." Ucap ibu sambil terus menyeka air matanya.

Ibu membawaku ke ruangan yang memliki bau obat lebih menyengat. Disana ada banyak meja panjang yang ditutupi oleh kan putih. Aku pun tak tahu apa yang ada dibalik kain putih itu. Ibu membawaku lebih dekat dengan meja yang berada di dekat jendela. Perlahan ibu mulai membuka tutup kain putih sambil menahan isak tangis. Wajah yang setiap hari tersenyum dan dengan girangnya akan mengajakku ke Mekdi pagi tadi muncul. 

"Ayah tidur?" Tanyaku "Ayoo bangunin, kan kita mau makna Mekdi bu! Nanti habis mainannya" Ucap ku memburu ibu agar segera membangunkan ayah. 

"Iyaa.. ayah tidur, nanti kita tetep ke Mekdi ya. Tapi ayah ga ikut ya, kita berdua saja" Ucap ibu terisak.

Kalau saja saat itu aku mengerti apa arti tidur yang ibu ucapkan. Mungkin aku takan bisa berhenti menangis semalaman. Persis seperti yang ibu alami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun