Dalam diskursus mengenai daging anjing di Indonesia, sering kali terjadi perdebatan yang memposisikan tradisi budaya melawan nilai-nilai etika dan kesehatan publik. Namun, inti permasalahannya tidak semata terletak pada kebiasaan makan, melainkan pada praktik perdagangan dan penyelundupan daging anjing yang melibatkan kekejaman terhadap hewan serta berisiko bagi kesehatan manusia.
Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, menekankan bahwa solusi harus berfokus pada aspek fundamental. "Yang kita butuhkan bukan larangan makan daging anjing secara total, tetapi penghapusan perdagangan dan penyelundupan ilegal yang mengorbankan hewan secara tidak etis," ujarnya.
Sebagian besar perdagangan daging anjing di Indonesia terjadi secara ilegal. Anjing-anjing ini sering kali dicuri dari pemiliknya atau diambil dari jalanan untuk dijual kepada pedagang atau rumah makan tertentu. Proses pengiriman hewan-hewan ini melibatkan perlakuan yang jauh dari etis. Mereka dijejalkan dalam kandang sempit, mengalami dehidrasi, stres, dan bahkan kematian sebelum mencapai lokasi penyembelihan.
Menurut laporan Tribun, jalur penyelundupan ini sering kali dimulai dari daerah-daerah seperti Garut, yang kemudian mengirimkan anjing ke Cilacap untuk transit sebelum mencapai Solo. Seluruh proses ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan upaya menghilangkan jejak yang melibatkan oknum dalam rantai distribusi.
Situasi ini diperparah dengan tidak adanya regulasi yang memadai untuk mengawasi rantai perdagangan. Tempat penyembelihan sering kali beroperasi tanpa izin dan jauh dari standar kebersihan yang seharusnya. Kondisi ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit zoonosis, seperti rabies, kepada masyarakat.
Bagi beberapa komunitas, konsumsi daging anjing dianggap sebagai bagian dari warisan budaya yang sulit dilepaskan. Misalnya, sebagian masyarakat Batak menjadikan daging anjing sebagai bagian dari tradisi kuliner mereka. Namun, penting untuk membedakan antara tradisi yang dijalankan secara terbatas dengan praktik perdagangan yang melibatkan eksploitasi hewan secara massal.
Dalam kasus ini, Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan Sintesia Animalia Indonesia telah menjadi dua organisasi yang berdiri di garis depan untuk menyuarakan penghentian perdagangan daging anjing. Kampanye mereka tidak hanya menyoroti aspek kekejaman terhadap hewan, tetapi juga menyajikan data terkait risiko kesehatan dan ancaman pada populasi anjing lokal yang kian menurun akibat praktik ilegal ini.
DMFI mencatat bahwa lebih dari satu juta anjing dibunuh setiap tahunnya di Indonesia untuk dijadikan konsumsi. Organisasi ini menyerukan pelarangan total terhadap perdagangan daging anjing untuk memastikan perlindungan terhadap hewan-hewan ini. Hal serupa digaungkan oleh Sintesia Animalia Indonesia, yang juga berfokus pada edukasi masyarakat mengenai bahaya dari konsumsi daging anjing yang tidak terkontrol.
Salah satu alasan utama yang sering diabaikan dalam diskusi ini adalah dampak perdagangan daging anjing terhadap kesehatan masyarakat. Rabies, salah satu penyakit paling mematikan yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, menjadi ancaman nyata. WHO telah menetapkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus rabies tertinggi di dunia, dan rantai perdagangan daging anjing menjadi salah satu penyebab utama penyebaran penyakit ini.
Proses penyembelihan yang tidak higienis juga berpotensi menyebabkan kontaminasi bakteri dan virus. Dalam banyak kasus, anjing-anjing yang disembelih tidak melalui pemeriksaan kesehatan atau vaksinasi, sehingga daging yang dihasilkan bisa menjadi sumber penyakit bagi konsumen.
Pada awal tahun 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memutuskan untuk menghapus usulan pasal dalam RUU yang melarang konsumsi daging anjing. Keputusan ini didasarkan pada alasan untuk melindungi tradisi masyarakat tertentu. Namun, pendekatan ini dianggap tidak menyelesaikan akar masalah, yakni perdagangan dan penyelundupan yang melibatkan kekejaman terhadap hewan.
Regulasi yang lebih efektif seharusnya fokus pada pelarangan perdagangan daging anjing, tanpa perlu mengintervensi tradisi secara langsung. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat menjalankan budaya mereka, tetapi dalam batasan yang lebih etis dan terkendali.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi perancangan undang-undang yang melarang perdagangan dan penyelundupan daging anjing secara tegas, disertai dengan sanksi yang jelas bagi pelaku. Kampanye masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya konsumsi daging anjing dan pentingnya melindungi hak-hak hewan. Menciptakan peluang mata pencaharian lain bagi mereka yang selama ini bergantung pada perdagangan daging anjing. Memperkuat penegakan hukum terhadap praktik penyelundupan, termasuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memutus rantai distribusi.
Isu perdagangan daging anjing bukan sekadar tentang apa yang boleh atau tidak boleh dimakan. Ini adalah tentang bagaimana kita sebagai masyarakat dapat hidup berdampingan dengan makhluk lain secara lebih manusiawi. Menghormati tradisi adalah hal yang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan hewan.
Dengan melarang perdagangan dan penyelundupan daging anjing, Indonesia dapat menunjukkan komitmen untuk menjaga keseimbangan antara warisan budaya, hak asasi hewan, dan kesehatan publik. Ini bukan hanya soal anjing, tetapi tentang menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H