Mohon tunggu...
Pernah Duda
Pernah Duda Mohon Tunggu... Musisi - Penghibur

Ngomongin Budaya Populer. Yang santai-santai aja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Perdagangan dan Penyelundupan Daging Anjing: Melindungi Hak Hewan dan Kesehatan Publik

21 November 2024   09:30 Diperbarui: 21 November 2024   09:46 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/18/lubang-gelap-peredaran-daging-anjing

Dalam diskursus mengenai daging anjing di Indonesia, sering kali terjadi perdebatan yang memposisikan tradisi budaya melawan nilai-nilai etika dan kesehatan publik. Namun, inti permasalahannya tidak semata terletak pada kebiasaan makan, melainkan pada praktik perdagangan dan penyelundupan daging anjing yang melibatkan kekejaman terhadap hewan serta berisiko bagi kesehatan manusia.

Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, menekankan bahwa solusi harus berfokus pada aspek fundamental. "Yang kita butuhkan bukan larangan makan daging anjing secara total, tetapi penghapusan perdagangan dan penyelundupan ilegal yang mengorbankan hewan secara tidak etis," ujarnya.

Sebagian besar perdagangan daging anjing di Indonesia terjadi secara ilegal. Anjing-anjing ini sering kali dicuri dari pemiliknya atau diambil dari jalanan untuk dijual kepada pedagang atau rumah makan tertentu. Proses pengiriman hewan-hewan ini melibatkan perlakuan yang jauh dari etis. Mereka dijejalkan dalam kandang sempit, mengalami dehidrasi, stres, dan bahkan kematian sebelum mencapai lokasi penyembelihan.

Menurut laporan Tribun, jalur penyelundupan ini sering kali dimulai dari daerah-daerah seperti Garut, yang kemudian mengirimkan anjing ke Cilacap untuk transit sebelum mencapai Solo. Seluruh proses ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan upaya menghilangkan jejak yang melibatkan oknum dalam rantai distribusi.

Situasi ini diperparah dengan tidak adanya regulasi yang memadai untuk mengawasi rantai perdagangan. Tempat penyembelihan sering kali beroperasi tanpa izin dan jauh dari standar kebersihan yang seharusnya. Kondisi ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit zoonosis, seperti rabies, kepada masyarakat.

Bagi beberapa komunitas, konsumsi daging anjing dianggap sebagai bagian dari warisan budaya yang sulit dilepaskan. Misalnya, sebagian masyarakat Batak menjadikan daging anjing sebagai bagian dari tradisi kuliner mereka. Namun, penting untuk membedakan antara tradisi yang dijalankan secara terbatas dengan praktik perdagangan yang melibatkan eksploitasi hewan secara massal.

Dalam kasus ini, Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan Sintesia Animalia Indonesia telah menjadi dua organisasi yang berdiri di garis depan untuk menyuarakan penghentian perdagangan daging anjing. Kampanye mereka tidak hanya menyoroti aspek kekejaman terhadap hewan, tetapi juga menyajikan data terkait risiko kesehatan dan ancaman pada populasi anjing lokal yang kian menurun akibat praktik ilegal ini.

DMFI mencatat bahwa lebih dari satu juta anjing dibunuh setiap tahunnya di Indonesia untuk dijadikan konsumsi. Organisasi ini menyerukan pelarangan total terhadap perdagangan daging anjing untuk memastikan perlindungan terhadap hewan-hewan ini. Hal serupa digaungkan oleh Sintesia Animalia Indonesia, yang juga berfokus pada edukasi masyarakat mengenai bahaya dari konsumsi daging anjing yang tidak terkontrol.

Salah satu alasan utama yang sering diabaikan dalam diskusi ini adalah dampak perdagangan daging anjing terhadap kesehatan masyarakat. Rabies, salah satu penyakit paling mematikan yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, menjadi ancaman nyata. WHO telah menetapkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus rabies tertinggi di dunia, dan rantai perdagangan daging anjing menjadi salah satu penyebab utama penyebaran penyakit ini.

Proses penyembelihan yang tidak higienis juga berpotensi menyebabkan kontaminasi bakteri dan virus. Dalam banyak kasus, anjing-anjing yang disembelih tidak melalui pemeriksaan kesehatan atau vaksinasi, sehingga daging yang dihasilkan bisa menjadi sumber penyakit bagi konsumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun