Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cangkul Lik Ngadiono

27 Juli 2023   08:10 Diperbarui: 27 Juli 2023   08:11 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah istilahat siang, para petani melanjutkan mencangkul sama ditemani angin yang berhembus membawa kesejukan. Lik Ngadiono teringat sesuatu. Seharusnya, cangkul lamanya diganti dengan yang baru. Tapi, ia enggan menanyakan perihal cangkul. Mungkin saja, tuan tanah sedang mengalami kerugian besar karena gagal panen. Begitu sangkaan Lik Ngadiono. Tapi, untuk alasan persisnya, ia tidak tahu sebabnya. Hanya saja, Lik Ngadiono mulai tidak nyaman dengan cangkul yang lama. Kayunya kian menipis dan mata paculnya tidak tajam lagi.

"Lik Manto, paculnya sudah baru? Apa sudah diberikan baru lagi oleh tuan tanah?" tanya Lik Ngadiono pada kawannya ketika hendak pulang dari sawah.

Tanpa bermaksud menyembunyikan alasan, Lik Manto hanya mengangguk saja. Namun, wajahnya tidak berani menatap Lik Ngadiono. Biasanya, pacul diberikan setelah musim panen. Bersamaan dengan hari pertama musim tanam. Namun, hingga waktu pemberian pupuk, belum juga ada pacul baru untuk Lik Ngadiono.

Berganti hari, Lik Ngadiono masih mencangkul pematang sawah dengan cangkul lama. Ia juga mengurus aliran irigasi dengan cangkul lama. Selain itu, ia masih berandai-andai, jika cangkul-cangkul ada yang belum dibagikan, pasti tuan tanah melupakan dirinya.

"Mana mungkin tuan tanah melupakanmu, Lik. Kamu itu buruh tani paling lama di sini. Semua tahu, kalau dulu selalu menemani tuan tanah ketika masih muda," ujar Lik Kartono.

"Benar sekali. Coba tanya saja pada Pak Dukuh, siapa tahu dia punya alasan kenapa sampai sekarang cangkulmu belum juga diberikan," usul Lik Darsono.

"Baik kalau begitu. Nanti, setelah selesai menanam benih lama itu, aku akan coba bertanya. Biasanya memang Pak Dukuh yang membagikan, kadang juga dibantu oleh Pak RT," sahut Lik Ngadiono dengan mata penuh harapan.

Mereka kembali melanjutkan bertani. Sebagai buruh tani, mereka merawat beberapa petak sawah milik tuan tanah. Tuan tanah itu hanya sebutan, nama sebenarnya adalah Pak Darmo. Salah satu pemuda desa yang kaya di masanya dan kini menjadi pengusaha sukses di bidang pertanian.

***

Sebenarnya, Lik Ngadiono masih merasa bingung. Ia tidak mengerti, apakah diperbolehkan meminta ganti pacul yang baru atau memang dirasa paculnya masih cukup baik. Memang, kayu pegangan pacul mulai licin dan mata pacul kian pendek. Itu semua tidak jadi soal, selagi setelah pulang mencangkul, Lik Ngadiono bisa menatap istri dan anaknya dalam keadaan baik.

"Beberapa hari yang lalu, Pak Darmo datang. Katanya, ada yang mau dibicarakan dengan kita, Pak," ujar Yu Ngatinah, istri dari Lik Ngadiono.

"Memangnya ada apa, Bu?" sorot mata Lik Ngadiono penuh selidik. Seolah, ada kecemasan besar ketika Pak Darmo datang.

Hanya berkunjung saja tanpa menjelaskan maksud dan tujuannya, begitu jelas Yu Ngatinah pada suaminya ketika ditanya apa yang dilakukan Pak Darmo.

Hari berganti hari, cangkul Lik Ngadiono tidak bisa dipakai, bagian bawah cangkul patah dan sudah saatnya diganti.

"Coba ditanyakan sama Pak Darmo saja, Pak. Ini juga penting, Bapak jadi tidak bisa bekerja kalau cangkulnya rusak," usul Yu Ngatinah dengan sabar. Ia tidak mau suaminya mengalami kesulitan dalam bekerja.

"Nanti coba aku tanyakan, sekarang aku mau berangkat ke sawah dulu," pamit Lik Ngadiono.

Yu Ngatinah kebingungan. Bagaimana mungkin, pergi ke sawah tapi tidak membawa cangkul. Apa yang bisa dilakukan oleh buruh tani, kalau tidak ada cangkul.

***

Bulan berganti bulan, Lik Ngadiono pergi ke sawah tanpa membawa cangkul. Namun, tetap ada saja yang dikerjakan. Ia membersihkan rumput dengan tangannya sendiri. Bahkan, ketika dipinjami cangkul oleh temannya, Lik Ngadiono memilih untuk menolak.

"Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli cangkul saja untuk Lik Ngadiono," usul salah satu petani yang paling muda.

"Memangnya kamu mau? Kalau kamu mungkin masih belum punya tanggungan. Hanya dirimu sendiri, kalau aku, anakku saja ada lima," ujar Lik Karmin.

"Tidak mau, mungkin itu ada kesalahan Lik Ngadiono dengan Pak Darmo," ujar Lik Jarmanto secara perlahan.

"Memangnya ada salah apa?" tanya semua buruh tani yang ada di dekat pematang sawah itu.

"Entahlah, ini rahasia sebenarnya. Tapi, aku belum punya bukti yang cukup untuk mengatakannya. Takutnya, nanti malah menjadi fitnah saja," ujar Lik Jarmanto dengan wajah serius.

"Dulu, Pak Darmo mau melamar anaknya Lik Ngadiono. Tapi, lamaran itu ditolak," ujar Lik Jarmanto melanjutkan percakapan.

Semua yang hadir terkejut. Lik Ngadiono hanya tersenyum di dekat pematang sawah yang lain.

"Pasti mereka sedang membahas hal itu," ujar Lik Ngadiono.

Bukan menolak, Lik Ngadiono sebenarnya tidak mau anaknya nanti hanya menjadi istri yang menurut saja. Ia ingin menguliahkan anak perempuannya. Supaya besok bisa jadi bupati.

Godean, 26 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun