Usulan-Usulan untuk Marno
Cerpen Yudha Adi Putra
Dalam perjalanan, Marno merasakan mual. Ia tetap berjualan. Tubuhnya nampak lemas. Mengayuh sepeda yang sudah disambung gerobak, Marno berkeliling. Tak lupa, mangkok yang ada di depannya dipukuli. Banyak orang sudah tahu dan menanti. Kalau suara itu menjadi tanda kedatangan Marno. Sesekali, Marno berpapasan dengan temannya.
"Kau mau jualan ke arah seperti biasanya, Mar?" tanya Haryo.
"Tentu. Tapi, aku tidak akan lebih jauh. Badanku terasa lemas. Mungkin aku perlu istirahat," sahut Marno.
"Bukan mungkin lagi itu. Kau istirahat dulu saja, biar nanti daganganmu dilanjutkan kawan lain," usul Haryo.
"Tidak. Aku masih kuat mengayuh dan melayani pembeli soto. Kau tenang saja, tumben baru jam sembilan sudah kembali. Laris ya?" tanya Marno.
"Begitulah, ini aku mau tambah lagi. Tadi di rumah atasan kita ada siapa saja? Sepertinya di hari Senin seperti ini dagangan akan cepat laris," kata Haryo bersemangat.
Hanya dibalas senyuman oleh Marno. Kemudian, masing-masing dari mereka melanjutkan perjalanan.
***
Kejadian itu terjadi begitu saja, ketika Marno hendak belok kanan di sebuah pertigaan. Tiba-tiba ada sepeda motor melaju kencang dan menabrak bagian depan gerobak Marno. Karena tabrakan yang kuat, Marno terjatuh dan gerobak sotonya hancur. Kuah soto membasahi tubuh Marno. Beberapa orang mendekat. Bahkan, ada ayam mendekat memakan daging ayam untuk soto Marno.
"Hei, jangan kabur. Ini ditolongi,"
"Sini kau!"
Bapak-bapak masih mengenakan sarung saling berteriak. Mereka menariaki pengendara sepeda motor yang kabur. Sedangkan, dua orang pemuda mendekati Marno yang tertimpa gerobak dan tubuhnya terkena kuah soto yang panas.
"Ayo kita bawa ke rumah sakit!" usul seorang pemuda.
"Uang dari mana, buat sarapan kita saja belum ada. Ini tadi mau utang soto di sini," sahut yang lainnya.
"Kalau ditelponkan temannya saja bagaimana? Aku punya salah satu pedagang soto yang lain. Mereka biasa berkumpul bersama dan membuat soto. Lalu, dijual berkeliling seperti ini," usul seorang Ibu yang mengenakan daster.
"Boleh, Bu. Silakan saja, kami akan menyingkirkan gerobak dan apa saja yang masih bisa diselamatkan," kata seorang bapak berkacamata.
Marno mengerang kesakitan. Tubuhnya terkena kuah soto panas. Belum lagi, kakinya tertimpa gerobak dan terjatuh karena tubrukan yang kuat. Badan sakitnya kian tambah sakit.
Tak lama, beberapa penjual soto berdatangan. Mereka lalu sepakat membawa Marno ke tempat tukang pijat.
"Tidak ada luka darah?" tanya Budi.
"Hanya sedikit. Mungkin itu kesleo dan terkena air panas. Kuah soto mendidih dan tertimpa gerobak lalu terjatuh di aspal," sahut Haryo.
"Bagaimana kita membayar tukang pijat ini? Kalian ada usulan?" tanya Gandi.
Kelima penjual soto itu saling pandang. Tak ada yang berani memberikan usulan. Mereka sama-sama perantau dan belum mendapatkan uang gaji. Apalagi, mereka ikut seorang penjual soto yang sudah sukses terlebih dahulu.
"Begini saja, kita bilang ke atasan kita. Kalau ini kecelakaan kerja, jadi nanti ada asuransinya. Lalu, kita bisa mintakan uang asuransi itu untuk membayar tukang pijat. Menurut kalian bagaimana?" usul Karmanto.
"Bisa itu. Bisa ditolak mentah-mentah. Apa kalian tidak tahu, atasan kita itu kikir sekali. Sudah baik kalau kita diberikan pekerjaan. Bisa saja uang setoran kita kurang. Itu sudah cukup untuk memicu kemarahannya," ujar Haryo.
"Bagaimana kalau kita patungan?" kata Gandi.
"Tidak mungkin. Kita semua tahu kalau sedang memerlukan uang untuk mengejar setoran kemarin. Belum lagi, modal dagang kita tidak ada lagi. Untuk mengganti yang tumpah tadi itu saja sudah banyak," jawab Yatno.
Marno mengerang kesakitan. Tukang pijak memberikan minyak pada bagian tubuh yang terkena kuah panas. Kaki Marno melepuh.
"Itu pasti karena kesleo. Kita harus kompak. Kalau atasan kita tahu, ini bisa bahaya. Bisa dipecat kita semua," kata Haryo.
"Lalu, menurutmu bagaimana? Biar bisa mengganti rugi jualan hari ini dan membayar tarif tukang pijat itu?" pertanyaan Gandi mengembalikan pada suasana hening.
Kelima pedagang soto keliling itu saling memandang dan mereka tersenyum ketika melihat gerobak soto milik Marno.
"Kita pinjam uang saja dengan pembuat gerobak. Itu pasti diberikan," usul Haryo dengan bersemangat.
"Iya, benar sekali," sahut Gandi.
"Tapi, apakah itu tidak hanya akan menjadi beban untuk Marno? Dia harus membayar utang itu dengan susah payah. Lagi pula, siapa memangnya yang akan membantunya," sahut Gandi.
Mereka terdiam lagi. Hanya ada suara Marno yang mengerang kesakitan. Badannya berlumuran minyak dan berkeringat.
"Kalau aku jual beberapa kainku cukup tidak?" usul Gandi.
"Memang ada yang mau mengembalikan? Jangan sampai persahabatan kita rusak hanya karena utang mendesak. Pasti ada cara lain untuk membayar tukang pijat dan ganti rugi kerugian penjualan soto hari ini," ujar Haryo.
"Lalu, apalagi yang harus dilakukan. Daganganku masih dan aku tidak melanjutkan jualan hari ini," kata Yatno dengan lemas.
"Kita jual saja daganganmu itu dengan harga tinggi. Kita jual di depan hotel saja, mereka pasti punya banyak uang. Syukur lagi kalau mau memberi uang, kita tulisi untuk sedekah membantu kawan yang sakit," usul Gandi.
Belum sempat mereka saling bertepuk tangan. Tiba-tiba tukang pijat itu keluar. Dengan tergopoh-gopoh, ia bertanya kepada kelima kawan Marno.
"Siapa yang bisa membantu kawan kalian itu? Dia sudah mau meninggal!" ujar tukang pijat dengan tergesa-gesa.
Kelima kawan Marno saling menatap. Usulan-usulan untuk Marno musnah seketika.
Godean, 25 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H