Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Layangan Bara

16 Juli 2023   17:30 Diperbarui: 16 Juli 2023   17:48 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Layangan Bara

Yudha Adi Putra

"Mas, nanti jadi kita ke lapangan? Angin sedang bagus ini!" ujar Bara pada Yudha.

Setiap sore, setelah selesai dengan tugas sekolahnya, Bara pergi ke dekat sawah untuk menerbangkan layangannya.

"Boleh. Tapi, aku mau istirahat dulu. Lelah rasanya di jalanan tadi macet," ujar Yudha.

Hingga akhirnya sore hari yang cerah tiba, Bara bersiap-siap membawa layangannya yang sudah diberi buntut panjang. Ia berjalan melintasi jalan setapak yang diapit oleh sawah yang perlahan berubah menjadi perumahan. Angin sepoi-sepoi menyapa wajahnya, memberikan sensasi kesegaran yang tak terlupakan.

"Semoga angin seperti ini masih bisa dirasakan. Asyik sekali," ujar Yudha.

"Memangnya kenapa?"

"Sekarang mulai banyak pabrik dibangun. Itu menyebabkan polusi bukan?"

Semua termenung menatap langit yang cerah. Ketika sampai di tepi sawah, Bara menemukan spot yang anginnya kencang untuk menerbangkan layangannya. Di sana, sejauh mata memandang, terhampar sawah yang menguning karena siap panen. Suasana damai dan tenang membuat hati Bara berbunga-bunga.

"Dilihat nikmat sekali. Tidak ada perumahan seperti di Barat desa,"

"Mungkin hanya tahun ini, rencana tahun depan akan dibuat perumahan juga," ujar Yudha ketus.

Tak mempedulikan perkataan kakaknya, Bara tetap melangkah dengan mantap. Ia membuka layangannya, yang berwarna-warni dan menghiasi langit sore itu. Dengan hati yang gembira, Bara melepaskan tali layangannya, dan perlahan layangan itu terbang tinggi di angkasa. Bara melihat dengan kagum bagaimana layangannya seperti menari di udara, melawan hembusan angin dengan gemilang.

"Ekor layangan terlihat menari-nari. Kalau ditambah panjang pasti bagus itu!" ujar Yudha.

"Dulu waktu Mas Yudha kecil, siapa yang mengajak bermain layangan?"

Belum sempat menjawab, Yudha sudah menghindar. Bara menambah uluran tali layangannya. Harapnya supaya tambah panjang.

Sambil memandangi layangannya yang melayang-layang, Bara merasakan kedamaian yang mendalam. Suara riak-riak air di sawah dan suara burung yang berkicau menambah keindahan saat itu. Bara benar-benar merasa terhubung dengan alam di sekitarnya.

"Andai saja teman-temanku bisa datang ke sini juga. Tapi, itu tidak mungkin. Kalau temanmu pada kemana?" tanya Yudha.

"Entahlah, tapi itu lihat di sana!"

Tak lama kemudian, teman-teman Bara yang juga pecinta layangan datang bergabung. Mereka membawa layangan masing-masing dan dengan semangat bergandengan tangan. Bersama-sama, mereka menerbangkan layangannya di langit senja yang indah.

Sambil menikmati momen tersebut, mereka saling berlomba dalam menerbangkan layangan di angkasa. Melihat layangan mereka saling berkejaran dan meliuk-liuk di antara awan, mereka merasa seperti melihat burung yang bebas terbang di langit luas.

"Kalau ada pesawat bagaimana? Nanti bisa kena layangan kita!" ujar Doni, salah satu kawan Bara.

"Tak mungkin. Itu tidak terlalu tinggi sebenarnya," kata Dino.

Sore hari semakin larut dan matahari mulai merunduk ke peraduan. Warna langit berubah menjadi oranye dan merah, menciptakan pemandangan yang memukau. Layangan-layangan itu tampak seperti bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip di langit senja.

"Sudah mau malam. Tapi, langit malah kian cantik sekali. Aku ingin mengabadikannya?"

"Mas Yudha bawa kamera?" tanya Dino.

"Bukan pakai kamera. Tapi, bisa saja pakai puisi untuk mengabadikan senja,"

Dalam kesempurnaan momen itu, Bara dan teman-temannya merasakan kebersamaan dan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Mereka bersyukur atas keindahan alam yang diberikan dan kesempatan untuk menikmatinya bersama-sama.

"Semoga hari esok dapat terulang. Aku ingin bisa mengabadikan senja dan layangan dalam puisi ini," ujar Yudha dengan penuh semangat.

Dengan langit senja yang semakin gelap, mereka menurunkan layangan mereka satu per satu. Namun, kenangan indah itu akan selalu tertanam dalam hati mereka. Mereka tahu bahwa setiap kali mereka melihat layangan, mereka akan teringat akan sore yang magis itu di dekat sawah.

"Ayo kita ibadah. Ini sudah waktunya!" ujar Yudha.

Tak ada yang mengira, Bara belum bersama dengan mereka. Hanya beberapa anak mengikuti Yudha sambil memegang layangan. Dari kejauhan, Bara menangisi langit senja yang berubah menjadi gelap.

"Andai Bapak masih ada. Pasti Mas Yudha akan lebih bahagia. Aku tahu, dia membawa ke sawah untuk merekam kenangan dan memungutinya," ujar Bara dalam derai air mata.

Tak ada yang mengira, Yudha mendekati Bara. Mereka berpelukan.

"Kau tahu ternyata apa yang aku rasakan," ujar Yudha.

"Tentu. Ini tidak sesederhana layangan. Ini tentang perasaan,"

"Tak masalah. Kalau semua tidak bisa selesai hari ini. Tentu masih ada lain hari, besok kita coba lagi ya?" kata Yudha dengan penuh semangat.

Bara hanya tersenyum. Merasakan kebanggaan memiliki Kakak bernama Yudha.

Godean, 16 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun