"Tak mungkin. Itu tidak terlalu tinggi sebenarnya," kata Dino.
Sore hari semakin larut dan matahari mulai merunduk ke peraduan. Warna langit berubah menjadi oranye dan merah, menciptakan pemandangan yang memukau. Layangan-layangan itu tampak seperti bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip di langit senja.
"Sudah mau malam. Tapi, langit malah kian cantik sekali. Aku ingin mengabadikannya?"
"Mas Yudha bawa kamera?" tanya Dino.
"Bukan pakai kamera. Tapi, bisa saja pakai puisi untuk mengabadikan senja,"
Dalam kesempurnaan momen itu, Bara dan teman-temannya merasakan kebersamaan dan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Mereka bersyukur atas keindahan alam yang diberikan dan kesempatan untuk menikmatinya bersama-sama.
"Semoga hari esok dapat terulang. Aku ingin bisa mengabadikan senja dan layangan dalam puisi ini," ujar Yudha dengan penuh semangat.
Dengan langit senja yang semakin gelap, mereka menurunkan layangan mereka satu per satu. Namun, kenangan indah itu akan selalu tertanam dalam hati mereka. Mereka tahu bahwa setiap kali mereka melihat layangan, mereka akan teringat akan sore yang magis itu di dekat sawah.
"Ayo kita ibadah. Ini sudah waktunya!" ujar Yudha.
Tak ada yang mengira, Bara belum bersama dengan mereka. Hanya beberapa anak mengikuti Yudha sambil memegang layangan. Dari kejauhan, Bara menangisi langit senja yang berubah menjadi gelap.
"Andai Bapak masih ada. Pasti Mas Yudha akan lebih bahagia. Aku tahu, dia membawa ke sawah untuk merekam kenangan dan memungutinya," ujar Bara dalam derai air mata.