Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencatat Pagi

17 Maret 2023   10:51 Diperbarui: 17 Maret 2023   11:09 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mencatat Pagi

Cerpen Yudha Adi Putra

Bangun dengan perasaan bingung. Jarwo menatap ke kanan dan ke kiri. Semua sepi. Tak ada kicau burung. Kokok ayam juga tidak terdengar.

"Bagaimana memulai hari ini ?"

"Mungkin masih banyak pertanyaan bermunculan, tapi apa yang harus dimakan ?"

"Jawaban dan kenangan," begitu kata Jarwo.

Seisi kamarnya berantakan. Semalam, ia tak bisa tidur. Baru ketika kokok ayam terdengar. Kantuk mendatangi Jarwo.

"Semoga hari ini bisa lebih baik dari kemarin, kelak impian itu harus mewujud jadi kenyataan," harapan Jarwo.

Tak lama, ia menyadari bahwa utangnya kian banyak. Jam 12 siang, ia bertemu dengan penagih utang. Banyak permintaan bermunculan, terutama soal bunga.

"Sebentar, Pak. Saya belum punya uang. Semoga setelah tulisan ini laku. Bisa dapat uang untuk sekedar membayar bunganya,"
"Kenapa tidak sekalian dengan utangnya ?" tanya penagih utang.

"Tentu karena saya tak punya uang," jawab Jarwo dengan wajah tertunduk lesu. Ia meraih air di sampingnya. Minum perlahan, merasakan ada kesegaran masuk dalam tubuhnya.

Pagi bukan pagi lagi. Kini sudah siang, banyak bayang bermunculan. Kicauan burung mulai terdengar Jarwo.

***

Perlahan, Jarwo melangkah menuju dapur menatap banyak mata yang menatapnya juga. Bukan mata manusia, apalagi mata kawannya. Hanya mata kucing. Kucing yang tengah kelaparan, persis seperti yang dirasakan Jarwo. Tak ada sesuatu yang dimakan. Hidup menjadi pengangguran memang menyebalkan.

Tertidur dalam impian, itu harapan Jarwo.

"Mungkin karena tulisannya banyak kata yang. Jadi itu menyebalkan bagi pembaca," kenang Jarwo pada sebuah perpisahan.

"Tak masalah, asal aku tetap menulis. Bukannya perjalanan dimulai dengan langkah. Hanya pada perpisahan saja, tulisan menjadi bermakna. Kelak itu yang menjadi yang lain, apapun itu," jawaban Jarwo.

Sementara itu, gerimis mulai datang. Tidak jadi hari penuh dengan kebahagiaan. Gerimis itu muncul membasahi dedaunan. Tanaman yang diusahakan Jarwo turut basah.

"Paling tidak, aku tidak perlu menyirami. Ada hujan yang mengairi, lalu kenapa aku khawatir kalau bunga itu bisa mati ?" tatapan Jarwo penuh pertanyaan. Ada harapan dari apa yang akan jatuh setelah hujan.

***

Setelah malam kembali datang, Jarwo melihat bukunya. Bacaan yang perlahan membuatnya kantuk itu diletakkan di meja.

"Bukankah menjadi penulis itu semacam jalan indah ? Tapi, bisa jadi semua berjalan tidak sesuai dengan rencana. Kelak, ia akan abadi tapi bisa jadi tetap dibenci !"

Kata penutup dalam buku. Semua gelap. Tak sempat membeli lilin. Jarwo sudah kehabisan cahaya untuk membaca.

"Karena kalau malam bisa gelap. Kita bisa bertemu lebih cepat dalam mimpi. Bersama banyak harapan. Tidak sesuai dengan kenyataan dalam kenyataan menyebalkan ini. Sudah pertanyaan itu simpan saja ?"

Perlahan, ada sesuatu meledak. Membuat Jarwo panik. Tapi, itu terjadi dalam mimpinya Jarwo. Mimpi pengangguran yang tidur di tengah hari. Tak ada sesuatu dinikmati. Hanya tidur memberi nikmat pada hati, meski itu sesaat.

***
Kelak, kalau pagi tiba. Saat semua bersiap menuju tempat. Mencari harapan dengan suapan nasi.

"Bangun, Jar. Kalau bangun siang nanti rezekimu dipatuk ayam. Tak ada rezeki nanti kamu nanti !" nasihat Ibunya Jarwo beberapa tahun silam. Itu menguap bersama kenangan akan ibunya. Kenangan yang perlahan selalu Jarwo nikmati dalam mimpi.

Meski tidak bersama Ibunya lagi, Jarwo tetap tumbuh menjadi pengangguran.

"Kita akan menyelesaikan banyak hal. Menjadi pengangguran tak lebih buruk dari menjadi koruptor yang ketahuan, waktu terus berjalan," ujar Jarwo ketika dia ditanya kenapa menganggur hingga hampir enam tahun.

"Aku bisa makan dari kasih. Ingat kasih, bukan kasihan. Sesuatu yang sama tapi tampak berbeda, lalu semua kenangan itu aku catat,"

Semua semakin gelap. Tak ada yang dicatat oleh Jarwo kini. Dalam mimpinya, Jarwo bertarung dengan kemalasan. Perlahan namun pasti. Muncul suatu suara yang menangkan.

"Semua akan baik-baik saja. Perjalanan kita tentu masih panjang,"
"Kenang saja !"

Semua akan terus dicatat meski kau sendiri tak pernah mencatat.

Godean, 17 Maret 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun