Kata penutup dalam buku. Semua gelap. Tak sempat membeli lilin. Jarwo sudah kehabisan cahaya untuk membaca.
"Karena kalau malam bisa gelap. Kita bisa bertemu lebih cepat dalam mimpi. Bersama banyak harapan. Tidak sesuai dengan kenyataan dalam kenyataan menyebalkan ini. Sudah pertanyaan itu simpan saja ?"
Perlahan, ada sesuatu meledak. Membuat Jarwo panik. Tapi, itu terjadi dalam mimpinya Jarwo. Mimpi pengangguran yang tidur di tengah hari. Tak ada sesuatu dinikmati. Hanya tidur memberi nikmat pada hati, meski itu sesaat.
***
Kelak, kalau pagi tiba. Saat semua bersiap menuju tempat. Mencari harapan dengan suapan nasi.
"Bangun, Jar. Kalau bangun siang nanti rezekimu dipatuk ayam. Tak ada rezeki nanti kamu nanti !" nasihat Ibunya Jarwo beberapa tahun silam. Itu menguap bersama kenangan akan ibunya. Kenangan yang perlahan selalu Jarwo nikmati dalam mimpi.
Meski tidak bersama Ibunya lagi, Jarwo tetap tumbuh menjadi pengangguran.
"Kita akan menyelesaikan banyak hal. Menjadi pengangguran tak lebih buruk dari menjadi koruptor yang ketahuan, waktu terus berjalan," ujar Jarwo ketika dia ditanya kenapa menganggur hingga hampir enam tahun.
"Aku bisa makan dari kasih. Ingat kasih, bukan kasihan. Sesuatu yang sama tapi tampak berbeda, lalu semua kenangan itu aku catat,"
Semua semakin gelap. Tak ada yang dicatat oleh Jarwo kini. Dalam mimpinya, Jarwo bertarung dengan kemalasan. Perlahan namun pasti. Muncul suatu suara yang menangkan.
"Semua akan baik-baik saja. Perjalanan kita tentu masih panjang,"
"Kenang saja !"
Semua akan terus dicatat meski kau sendiri tak pernah mencatat.