Pagi bukan pagi lagi. Kini sudah siang, banyak bayang bermunculan. Kicauan burung mulai terdengar Jarwo.
***
Perlahan, Jarwo melangkah menuju dapur menatap banyak mata yang menatapnya juga. Bukan mata manusia, apalagi mata kawannya. Hanya mata kucing. Kucing yang tengah kelaparan, persis seperti yang dirasakan Jarwo. Tak ada sesuatu yang dimakan. Hidup menjadi pengangguran memang menyebalkan.
Tertidur dalam impian, itu harapan Jarwo.
"Mungkin karena tulisannya banyak kata yang. Jadi itu menyebalkan bagi pembaca," kenang Jarwo pada sebuah perpisahan.
"Tak masalah, asal aku tetap menulis. Bukannya perjalanan dimulai dengan langkah. Hanya pada perpisahan saja, tulisan menjadi bermakna. Kelak itu yang menjadi yang lain, apapun itu," jawaban Jarwo.
Sementara itu, gerimis mulai datang. Tidak jadi hari penuh dengan kebahagiaan. Gerimis itu muncul membasahi dedaunan. Tanaman yang diusahakan Jarwo turut basah.
"Paling tidak, aku tidak perlu menyirami. Ada hujan yang mengairi, lalu kenapa aku khawatir kalau bunga itu bisa mati ?" tatapan Jarwo penuh pertanyaan. Ada harapan dari apa yang akan jatuh setelah hujan.
***
Setelah malam kembali datang, Jarwo melihat bukunya. Bacaan yang perlahan membuatnya kantuk itu diletakkan di meja.
"Bukankah menjadi penulis itu semacam jalan indah ? Tapi, bisa jadi semua berjalan tidak sesuai dengan rencana. Kelak, ia akan abadi tapi bisa jadi tetap dibenci !"