Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Perempuan dengan Kucing di Sampingnya

28 Februari 2023   22:30 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:30 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Perempuan dan kucingnya. (sumber: pixabay.com/Ashkan Sadeghi)

Hidup bisa tersusun dengan banyak jumpa. Entah menyenangkan, tak jarang juga menyedihkan. Banyak jumpa, banyak rasa akan terasa. Kadang, rasa tak seperti yang diharapkan. Kecewa menyapa. Sedih menghampiri. Perlahan, kita mulai didewasakan oleh keadaan.

"Kalau bisa memilih, tentu aku sekarang tidak di sini. Aku melanjutkan mimpiku dan semua harapanku dulu," begitulah kata Jarwo memulai pembicaraan.

"Maksudmu? Kau mau tidur? Aku kira orang desa itu suka bangun pagi," ujar Haryo menimpali.

Mereka tengah asyik menyantap bubur hangat. Selepas mengepel delapan ruang kelas, makan tentu jadi ide yang baik. Sambil makan, banyak harapan diungkapkan. Soal rasa makanan, sampai kenapa nasib begitu sulit diubah.

"Ah, kau ini. Aku dulu pengen bisa kuliah juga. Bawa buku ke mana-mana gitu. Tuaan dikit, rambutnya sudah botak. Habis buat mikirin banyak teori ini itu!"

"Kenyataannya sekarang malah jadi tukang pel di kampus. Ah, sama saja. Tiap hari ke kampus, lebih rajin kamu dari pada dosen-dosen itu," ujar Haryo sambil memegang saku di dadanya. Ia mencari sesuatu. Benda kecil yang kalau hilang bisa jadi masalah. Bahlkan, menjadikan renggang sebuah perjumpaan.

"Kau tahu di mana korekku, Jar?"

"Memangnya kau punya? Ini pakai punyaku dulu. Habis makan gini, rokokan memang nikmat sekali," Jarwo mengulurkan sebuah korek. Korek yang diambil tadi pagi di dapur. Mungkin, itu milik istrinya. Dipakai menyalakan kompor. Memang, kalau tidak dipicu oleh api dengan korek. Kompor di rumah Jarwo tak mau menyala.

"Kompornya sudah mau rusak, Mas. Aku takut kalau harus menyalakan dengan korek begitu," keluh istri Jarwo.

"Nanti, kita beli yang baru ya," jawab Jarwo disambut senyuman hangat istrinya. Padahal, nanti itu bisa berarti kapan saja. Tak apa, paling tidak ia bisa berangkat bekerja tanpa bertengkar dengan istrinya karena masalah kompor.

"Jangan sampai ilang! Kompor di rumahku tak bisa menyala tanpa dipicu korek soalnya," kata Jarwo pada Haryo yang tengah asyik menyalakan rokoknya.

"Kenapa tidak beli yang baru? Itu bahaya!"

"Uang dari mana? Gaji saja habis sebelum akhir bulan. Untuk cicilan ini itu, belum lagi anakku minta kucing,"

Mendengar kata kucing, Haryo terkejut. Ia merasa seperti teringat sesuatu. Perjumpaannya dengan kucing putih ketika mengepel tadi pagi. Kucing yang menemani setiap pagi Haryo.

"Belikan saja, Jar. Cepat belikan," kata Haryo bersemangat. Kini, malah Jarwo bertanya-tanya. Kenapa, tiba-tiba Haryo tampak antusias.

***

Senja telah tiba, sepulang dari kerja Haryo mencari anaknya. Anak perempuan yang begitu dikasihinya. Menatap anak itu, membuat Jarwo teringat akan istrinya. Istri Haryo meninggal karena sakit lima tahun silam.

"Pak, ini kopinya," begitu kata perempuan yang sering disapa Asih.

"Terima kasih ya, nak."

"Iya, Pak. Boleh tidak ya, Pak. Kalau aku pelihara kucing? Lucu sekali. Aku mau," ujar Asih tampak bersemangat. Sorot matanya penuh harap. Perempuan yang besok bermimpi untuk kuliah itu menatap Bapaknya.

"Tidak! Bikin kotor saja nanti. Kamu, kan mau kuliah. Belajar yang rajin, malah mau pelihara kucing," ujar Jarwo.

Asih tak menjawab, ia kembali ke kamarnya. Menata beberapa mimpi. Berharap bisa berjumpa dengan kucing putih. 

Kucing yang sejak pulang sekolah tadi mondar-mandir di halaman depan rumah mereka. Maklum saja, rumah Haryo berada di pinggir jalan. Keesokan harinya, Haryo tak mengira perjumpaan itu bisa terjadi.

***

Waktu makan bubur hampir usai, tapi Haryo malah asyik melamun. Entah, gara-gara Jarwo bilang anaknya pengen kucing. Ia jadi membuat sahabatnya penasaran.

"Kenapa, Har? Tak ada uang? Pakai uangku dulu saja. Kau tadi apa saja?" tanya Jarwo.

"Bukan, aku tiba-tiba rindu anakku. Aku ada uang,"

"Nanti, kalau uang buat beli kucing anakmu kurang. Bilang ke aku ya, aku tambahi tidak apa-apa!" Haryo mengatakan itu dengan tersenyum. Jarwo keheranan. Mereka melangkah perlahan kembali ke kampus.

Menjelang pulang, Jarwo mendengar kabar dari Darsono, kawan mereka bekerja.

"Dulu, ada perempuan dengan kucing di sampingnya,"

"Siapa?"

"Asih, anaknya Jarwo dan kucing impiannya,"

Godean, 28 Februari 2023
Yudha Adi Putra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun