Erni tertunduk. Ia kecewa. Tapi, melihat senyum Ibunya. Langkahnya dimantapkan untuk terus berjalan ke sekolah.
      Tidak terdengar suara. Seorang perempuan paruh baya muncul. Istrinya Jarwo melirik menatapnya. Perlahan menarik nafas dan berdiri berjalan menuju perempuan itu.
      "Mari, Bu. Silakan, ada yang bisa saya bantu ? Tumben pagi-pagi sekali." ujar istrinya Jarwo.
      Perempuan tua tadi mendekat. Mukanya kuyu, seperti tidak tidur semalaman.
      "Ada daun salam sama singkong tidak, Bu ?" ujarnya seperti mengadu. Suaranya lirih tapi tetap terdengar. Jarwo turut menyambutnya.
      "Mau masak sayur apa ini, Bu ?" tanya Jarwo.
      "Aku punya tahu dan santan kelapa. Coba, nanti mau dimasak apa. Ini masih bingung juga, makanya aku datang ke rumahmu, Jar !"
      Jarwo terdiam. Ia teringat utang lagi. Istrinya mengambilkan kantong plastik berisi singkok dan memetik daun salam.
      "Kurang tidak ini, Bu ?"
      "Wah, kebanyakan." jawab yu Parmi, Ibunya Jarwo sendiri.
      Kedua perempuan tadi lalu saling bercerita. Di desa, perempuan bisa saling meminta untuk bahan masakan. Tak ada perhitungan. Tak ada yang merasa dimanfaatkan. Saling membantu, tapi tidak soal utang. Hanya saja, istrinya Jarwo tak kunjung memasak. Ia larut bersama cerita soal hujan yang selalu datang tiba-tiba. Tentang masakan, tentang hari-hari di desa.