***
      Jarwo terpana menatap burung berkicau di sore hari. Andai, ia tak punya utang. Pasti bisa membeli burung. Matanya perlahan malah berkaca-kaca. Merindukan masakan seorang perempuan berarti dalam hidupnya.
      "Mas, utang harus segera dilunasi. Kalau tidak, kami tidak akan segan untuk menyita sawah dan rumah."
      Perkataan penagih utang justru membuyarkan kerinduannya. Ketika masih kecil, ia senang sayur bayam masakkan Ibunya. Kini, istrinya tak bisa memasak sayur bayar itu. Bukan karena tidak bisa memasak. Tapi, tak ada uang meski hanya sekedar untuk membeli bayam di warung.
      "Mas, apa mau masak sayur bayam saja ?"
      "Aku tidak punya uang." kata Jarwo pada istrinya. Perempuan yang dinikahinya sepuluh tahun lalu. Mungkin, dia adalah berkat Tuhan yang tak terkira.
      "Tenang. Nanti, aku bisa datang ke tempat Yu Darmi. Katanya, dia sedang banyak bayam."
      Sampai dijawaban istrinya itu, Jarwo terdiam. Ia mulai membayangkan, berapa banyak kontribusi perempuan yang kadang, tidak bisa diuangkan ? Dan Jarwo merasa, itu kepemilikkan penting. Bahwa tidak selalu, bahagia perlu uang. Tidak semua pengetahuan perempuan tidak diperhitungkan.
      "Bagaimana soal penagih utang itu, Mas ?"
      "Sudah, sudah."
      "Bagaimana, Mas ? Sudah dapat jalan keluarnya ? tanya istri Jarwo dengan antusias.
      "Belum tahu. Nanti malam, aku mau ke tempat Yudha. Mau pinjam uang lagi!"