Pembeli Tahu Tanpa Kembalian
Cerpen Yudha Adi Putra
      Sudah genap lima tahun, Yu Darmi berjualan tahu. Gerobak kecil menemani. Gorengan tahu semakin banyak. Dulu, hanya sekali goreng. Sekitar lima puluh tahu, sekarang sudah banyak. Bahkan, rencana membuka cabang sudah ada. Rencana itu saran dari anaknya. Tapi, Yu Darmi menolak. Takut, kalau pelanggan jadi kecewa.
      "Kalau Ibu tidak mau buka cabang. Mungkin bisa menyuruh orang. Jadi, kita punya pegawai. Nanti Ibu kecapekan bagaimana ? Pesanan semakin banyak saja. Aku sendiri tidak bisa banyak membantu." Ujar Rini.
Anak perempuan semata wayang Yu Darmi. Sudah hampir tiga bulan, Rini mengandung anak pertamanya. Tak lagi tinggal bersam Yu Darmi, Rini hidup bersama suaminya di kota. Hanya sesekali saja mengunjungi Yu Darmi. Tentu ketika kembali, tahu selalu dibawa.
"Tahunya Yu Darmi itu beda. Asin dan gurihnya pas. Kemarin, waktu arisan pada tanya. Dari mana saya tahunya." ucap tetangga Rini.
Banyak yang memuji tahu Yu Darmi. Tapi, Yu Darmi tidak pernah sombong. Banyak pesaing juga. Mulai dari promo tahu lima ratusan sampai bagi-bagi tahu di hari-hari tertentu.
"Mereka itu hanya sok tahu. Padahal, bukan jualan tahu. Hanya pengen cepat dapat uang." Ujar Yu Darmi.
Yu Darmi tak senang kalau ada komentar. Tapi, berjualan tentu tidak lepas dari komentar. Belum lagi, kalau tahunya tidak laku dijual. Ada saja yang sisa. Yu Darmi tidak pernah membagikan tahu itu. Ia bawa pulang sendiri. Nanti dipotong, lalu untuk makan ayam. Itu membuat ayam Yu Darmi gemuk dan sehat.
"Ayamnya makan tahu ya, Yu Darmi ?" tanya penjual ayam ketika akan membeli ayam Yu Darmi.
"Jelas. Banyak tahu yang dimakan. Tapi, ayamnya tidak tahu." Jawab Yu Darmi sambil tertawa.
Hari tua menjadi menyenangkan, punya usaha jualan tahu. Menyapa anak berangkat ke sekolah. Melihat pedagang berjualan. Begitu tiap hari. Hingga, ada seorang pembeli datang.
"Saya mau beli tahunya, Bu. Lima ribu saja." ujar seorang pemuda. Tampak lapar namun ditahan. Pemuda tadi hanya berjalan kaki. Kalau orang pertama kali melihat, mirip sekali dengan peminta-minta. Yu Darmi awalnya juga menduga demikian. Tapi, tidak.
"Ini Bu." pemuda itu mengulurkan tangan dengan uang seratus ribuan. Cukup banyak untuk membeli tahu. Hari masih pagi. Yu Darmi belum mempersiapkan kembalian.
"Sebentar, saya belum punya kembalian."
"Tidak usah, Bu. Buat Ibu saja uang kembaliannya."
Setelah itu, pemuda tadi pergi meninggalkan Yu Darmi. Awalnya, Yu Darmi menolak. Tapi, karena pagi masih belum ramai. Cuaca mendung juga. Akhirnya menerima begitu saja uang pemuda itu. Tak ada yang berubah.
Pagi datang lagi, hari sudah berganti. Dagangan Yu Darmi laris. Itu menjadi harapan penting.
"Akhirnya, dagangan laris. Aku bisa membantu Rini untuk mencicil rumah. Pelan-pelan, pasti bisa." Ujar Yu Darmi memberesi dagangannya.
"Yu Darmi, tahunya masih tidak ? Saya mau beli." ujar seorang perempuan sehabis turun dari mobil.
"Habis, Bu. Sudah habis untuk hari ini, baru mau buat nanti sore."
"Kalau begitu, saya pesan untuk nanti malam bisa tidak ?"
Yu Darmi terdiam. Seketika, dia teringat Rini. Semalam, Rini berencana datang untuk berkunjung. Mungkin, itu bisa menjadi alasan untuk membantu Yu Darmi.
"Bisa. Nanti malam, saya antarkan. Alamat rumahnya dimana ya ?"
Sambil berlalu, seorang Ibu paruh baya tadi memberikan kartu nama. Yu Darmi tak mengira. Ada orang kaya mau memesan tahunya.
Tahu pesanan harus segera dibuat, Yu Darmi segera pulang ke rumah. Sudah ada anaknya menanti. Ia juga bersama suaminya. Menantu Yu Darmi adalah seorang pegawai bank.
"Dagangannya laris, Bu ?"
"Habis semua. Tapi, tadi ada pesanan tahu. Banyak sekali. Sekitar seratus tahu untuk nanti malam."
Yu Darmi menunjukkan sebuah kartu. Ada alamat tertulis di sana. Menantu Yu Darmi mengernyitkan dahi.
"Sepertinya, saya kenal dengan orang ini, Bu."
"Ah. Ada-ada saja," ujar Yu Darmi sambil mulai membuatkan teh.
Godean, 07 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H