Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yayan Ingin ke Gereja

31 Januari 2023   11:05 Diperbarui: 31 Januari 2023   11:06 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangunan gereja memang sudah tua. Di atas mimbar ada sebuah papan. Papan itu melengkung ke depan. Konon, itu digunakan sebagai pemantul suara. Dahulu, belum ada pengeras suara. Suara pengkhotbah dipantulkan dari lengkungan itu. Tepat di atas mimbar, ada lukisan kaca. Gambar warna-warni yang seolah menyapa Yayan. Ada perempuan dengan kecapi.

Yayan mulai terdiam, air liur keluar dari mulutnya. Jemaat di sampingnya mulai risih. Ada yang menawari tissue. Yayan hanya diam. Ia tertidur menjelang lagu pertama dinyanyikan. Tanpa rasa cemas. Ke gereja menjadi seperti obat baginya. Bisa tidur nyenyak, tanpa merasa menjadi penganggu. Selain perempuan bersyal biru, tidak ada yang memperhatikan Yayan. Hanya perempuan itu, tampak penuh perhatian. Ada kasih dalam tiap tatapannya. Seperti mendapatkan kesempatan hidup, perempuan tadi berbuat baik pada mereka yang tak dianggap. 

"Apakah kamu mau permen ?" kata perempuan bersyal biru sambil menunjukkan permen pada orang di samping tempat duduknya. Mendapat penolakan, perempuan tadi kemudian berdiri. Mengikuti arah dari liturgi. Yayan tetap terdiam. Baru ketika lagu berhenti, dia tersadarkan. Wajahnya tampak girang. Memperhatikan arah mimbar. Pendeta mulai membacakan Alkitab.

"Kau mau membacanya?" tanya perempuan bersyal biru. Dengan jari tangan digerakkan seperti berpola, ia memperkenalkan diri sebagai Ani.

"Aku mau baca!" ucap Yayan dengan terbata-bata. Seolah setiap satu kata membutuhkan belasan detik. Tangannya mengacungkan jempol. Kepalanya mengangguk. Tampak kalau senang ketika Alkitab dibacakan, ada keinginan bisa membacakan Alkitab untuk semua orang. Tapi, itu tidak mungkin.

Ani hanya tersenyum. Pendeta dengan lantang membacakan Alkitab. Menjadi bagian penting sebelum khotbah dimulai.

Yayan tersenyum tenang. Sudah lama ia ingin ke gereja. Kalau di gereja, rasanya tenang. Ada alunan musik klasik. Nyanyian merdu. Hanya tiga bulan sekali Yayan bisa ke gereja. Itu juga bukan di gereja asalnya. Bahkan, ketika Natal tiba. Yayan tak pernah bisa merayakannya. Baru ketika di gereja lain, Yayan bisa memakai topi santa dan tertawa. Ketika kecil memang ia bisa bergabung bersama. Ada perempuan yang menggendongnya. Tumbuh dewasa, tak semua menyenangkan. Perempuan dengan sebutan Ibu itu memilih bunuh diri. Tidak kuat dengan kenyatan hidup sebagai istri pendeta.

Eko, bapaknya Yayan, merupakan pendeta di gereja kecil pada puncak Gunung, tapi namanya bisa terkenal ke mana-mana. Bukan karena pandai berkhotbah. Khotbahnya biasa saja, bahkan cenderung lama. Sedangkan Yayan, sering ditinggalkan oleh Bapaknya. Tentu tuntutan pelayanan. Suatu malam, ada ular di kamar Yayan, ular tadi dipukuli oleh Yayan kecil karena takut. Tak sengaja, kakinya menginjak bangkai ular. Setelah kejadian itu, kaki Yayan menjadi sulit digerakkan. Usianya belum genap tujuh tahun. Karena kejadian ular di malam hari, Yayan menjadi penyandang disabilitas keterbelakangan mental. Usia bertambah, tapi mentalnya masih anak usia tujuh tahunan. 

Banyak dugaan kalau Yayan terkena kutukan dosa. Tidak jarang mengira itu ujian anak seorang pendeta. Dan yang paling menyakitkan adalah Yayan menjadi bentuk dosa ibunya yang dulu menjadi pelacur. Bertobat dan menjadi istri pendeta tak cukup. Dosa tetap meminta balas, begitu anggapan orang di sekitar. Itulah yang membuat Yayan tak pernah ke gereja. Meski dia anak seorang pendeta. Hanya berada di kamar saja. Baru ketika Bapaknya mendapat undangan khotbah di luar, ia diajak dengan sukacita.

Dan sebenarnya, Pak Eko tak pernah menceritakan anaknya itu. Ketika berkhotbah, ia hanya datang ke gereja begitu saja. Yayan berada dalam mobil, kadang berjalan keluar sendiri menuju gereja tempat dimana Bapaknya dapat undangan tugas. Yayan sering berandai, ia dapat membantu Bapaknya, membacakan warta jemaat, membuka dan membacakan Alkitab sambil memandang sekeliling jemaat yang datang. Seumur hidupnya, itu hanya menjadi impian belaka.

Tapi, bila hal itu terjadi. Tentu Yayan bisa mendapati gereja dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Merasakan nikmat mengikuti ibadah dengan bahasa isyarat. Sapaan ramah bagi yang tak bisa berbahasa verbal. Bersamaan gereja yang ramah penyandang disabilitas, ia mengharapkan ada keterlibatan penyandang disabilitas dalam ibadah. Tidak hanya menjadi jemaat duduk. Ada kesempatan merasakan perjamuan kudus. Bisa membacakan Alkitab. Turut serta mengambil kebijakan untuk kegiatan gereja. Dan yang pasti dianggap manusia seutuhnya. Bukankah Yayan tak bisa memilih, kenapa dia menjadi penyandang disabilitas ?
Keinginannya untuk ke gereja selalu dihalangi oleh banyak orang. Maka ketika Bapaknya mengajak ke gereja lain, itu ia manfaatkan untuk ikut beribadah. Harapannya dalam hidup, ikut beribadah yang dianggap membosankan karena hanya ritual itu. Tak pernah Yayan mengatakan keinginannya pada Bapaknya. Selain tak mengerti cara menyampaikan, menjadi penyandang disabilitas tapi anak pendeta tentu menjadi aib yang asyik dibicarakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun