Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sangkar Burung Kicau

24 Januari 2023   15:00 Diperbarui: 24 Januari 2023   15:03 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sangkar Burung Kicau

Cerpen Yudha Adi Putra

Ayam berkokok seolah senang. Pagi datang dengan suasana cerah. Embun membasahi dedauan. Di depan sebuah rumah, seorang laki-laki sedang merapikan sangkar burung. Kain biru digunakan untuk menutupi. Wajahnya bersemangat, ada rokok menyala terjepit dibibir, sesekali tangannya menggoda burung dalam sangkar. Beberapa burung masih tergantung dengan tutup kain juga. Perlahan, satu persatu dibuka. Hanya ada satu sangkar, dibiarkan tetap berselimut kain hitam.

***

Motor mulai dikeluarkan dari garasi. Ruang tamu sekaligus tempat menaruh motor itu mulai disapu. Ada seorang perempuan masih mengenakan daster menyapu. Perempuan itu hanya diam. Seolah tidak peduli apa yang dilakukan oleh lelaki yang disebut suami itu. Jendela rumah mulai dibuka. Lampu beberapa ruangan dimatikan. Dengan telaten, perempuan bernama Mbak Yanti itu memeriksa bunga mawar di depan rumah. Kemudian, sesekali mencopoti daun kering yang menggotori. Laki-laki dengan kurungan berbungkus kain hitam tadi sudah bersiap untuk pergi.

"Aku mau ikut lomba kicau burung !," kali ini, Pak Darso mulai bersuara. Pamit pada istrinya yang sibuk mengamati bunga.

"Boleh-boleh saja. Asal kalau pulang bawa uang !" perempuan yang nampak muda karena sering ke salon itu tersenyum.

"Kemarin sudah aku kasih uang bulanan. Masa kurang?"

"Aku mau pergi ke salon dengan teman-teman !"

Lelaki itu tidak menjawab. Ia berdiri dan menuju motor kesayangannya. Pergi meninggalkan istrinya karena waktu sudah hampir jam tujuh pagi. Lomba kicau burung memang selalu diadakan setiap hari Minggu pagi. Rela tak pergi ke gereja, Pak Darso pasti hadir di lapangan luas dengan gantangan dekat pasar. Ia selalu berjalan memutar, malu nanti berpapasan dengan orang berangkat ke gereja. Memelihara burung menjadi hobi bagi banyak lelaki, termasuk mereka yang sudah menjadi bapak-bapak. Selain karena hobi yang tidak terlalu berisiko, kecuali burung lepas atau mati. Hobi ini menjadi pelampiasan ketika dimarahi istri. Begitu juga yang jadi alasan Pak Darso. Meski bagaimana juga, burung harusnya terbang bebas, bukan dalam sangkar. Itu menjadi risiko.

"Lebih baik sedih karena burung lepas atau mati. Kalau sedih ketahuan selingkuh, malah berbahaya !"

"Memang benar. Kalau ada hubungannya dengan manusia itu ribet !"

Untuk orang seperti Pak Darso, burung mati atau lepas bukan alasan. Ia akan tetap memelihara dan melombakan burung. Meski rela tak makan, hingga dadanya kerempeng, perutnya kempis, dengan sorot mata layu. Uang untuk jatah belanja istrinya selalu diputar dari kemenangan lomba kicau burung. Kalau tidak, terpaksa utang. Pernah juga, ada yang menawari jualan obat kuat. Tapi, Pak Darso menolak.

Dibandingkan dengan pergi ke gereja, lebih banyak waktu Pak Darso habis di tempat gantang burung. Bekerja menjadi buruh pabrik, waktu hari Minggu menjadi sangat berarti. Ia rela tidak tidur semalaman, supaya tak terlambat ketika pagi. Gaji menjadi buruh memang hanya cukup untuk menjatah istri. Maka dari itu, Pak Darso setuju. Sebaik-baiknya istri adalah yang bekerja. Kalau bisa, pekerjaan yang banyak uang.

Pernah suatu ketika, Pak Darso ingin lepas dari hobi memelihara burung. Meski sudah banyak uang dihabiskan untuk merawat. Tetap saja, tak ada pelampiasan lain yang tepat sebagai laki-laki.

"Kalau merokok. Nanti tidak baik untuk kesehatan di hari tua. Lagi pula, di pabrik tidak bisa merokok !"

"Mau main perempuan. Itu juga menumpuk penyakit. Belum juga aib keluarga !"

Wajar saja, sudah menikah dengan Mbak Yanti. Pak Darso belum memiliki anak di usia pernikahan ke sepuluh.

"Memangnya, ada usulan kenakalan apa lagi ? Penat juga kalau tidak punya hewan peliharaan !" keluh Pak Darso. Itu diucapkan setelah seminggu, semua burungnya mati karena dimakan kucing istrinya.

Maka, setelah semua usaha hobi lain dicoba, tetap saja gagal. Pak Darso memilih untuk menjadi pemelihara burung dan ikut perlombaan di Minggu pagi. Tak jarang, pendeta sampai berkunjung ke rumah, hanya karena mau menanyakan.

"Kenapa Pak Darso jarang sekali ke gereja ? Saya lihat Pak Darso ke gereja hanya waktu natalan dan menjelang paskahan saja !" pendeta bertanya ketika bertamu di rumah Pak Darso.

Tak berani menjawab, Pak Darso malah mengalihkan pembicaraan dengan bercerita soal maling komputer di gereja. Ia juga malah menyindir, soal kebiasaan mabuk para pendeta setelah ibadah perjamuan selesai.

Pak Darso menjadi anggota terlama dari komunitas burung kicau di dekat pasar. Meski ada tempat gantangan burung lain, bahkan yang lebih bagus. Pak Darso tetap memilih ke tempat itu. Ia dan teman-temannya memberi nama kelompok mereka dengan sebutan Pedagang Besar. Itu akronim dari pengangguran dalam gang belakang pasar. Sebenarnya itu usulan Pak Darso, ia dulu kesal karena menganggur dan sering ditanya tetangganya.

"Sekarang kerja dimana?"

"Jadi pedagang besar !"

Ketika sudah dijawab, baru akan berhenti bertanya. Kalau jawabannya tak memuaskan, baru bermunculan saran tak diminta. Pak Darso menjadi akrab dengan semua pemilik burung kicau kelompok Pedagang Pasar itu.

Para pemelihara burung yang datang bisa bermacam-macam. Tentu kebanyakan dari mereka adalah para pejabat dan pekerja formal tak punya hiburan. Di tempat gantangan burung, ada banyak lomba untuk kicauan burung. Bisa tergantung jenis burung. Tak jarang, sangkar yang dibawa turut menentukan kelas perlombaan.

"Lihat. Itu sangkarnya hanya dari kayu. Pasti burung murahan !"

"Masa. Sangkar plastik seperti itu mau ikut perlombaan."

Begitulah, percakapan malah bukan pada burung yang mau dilombakan. Jenis bahan untuk membuat sangkar juga turut berlomba.

"Bagaimana jika istrimu tahu bahwa pagi ini kamu beli sangkar dan burung baru lagi ?"

"Itu murai batu? Pasti mahal sekali !"

Percakapan dua orang laki-laki di samping Pak Darso. Tawa mereka perlahan terdengar. Seorang pemuda menggendong sangkar nampak diperhatikan oleh Pak Darso.

"Istriku tidak peduli aku di mana pagi ini. Kemarin sudah mendapatkan jatah. Aku kasih uang banyak ! Itu penting buat mereka. Mungkin mau ke salon,"

"Kalau memberi uang pada selingkuhannya?"

Cibir seorang pemuda lain seraga melepaskan kain penutup sangkar. Lantas, keduanya tertaa terbahak. Momen Minggu pagi menjadi menyenangkan karena bisa bercanda dengan kawan. Mereka yang ada di tempat gantangan saling berseloroh ketika ada polisi datang.

"Mau ikut lomba kicau burung, Pak ?"

Pertanyaan Pak Darso pada polisi itu mengheningkan suasana. Mereka nampak memperhatikan derap langkap polisi. Mendekati sangkar tertutup kain warna hitam.

"Angkat tangan ! Semuanya jangan bergerak !" teriak lelaki berseragam polisi.

Dengan perlahan, polisi lain membuka kain berwarna hitam penutup sangkar burung kicau. Tampak bungkusan rokok berisi sabu-sabu dan minuman keras.

Godean, 24 Januari 2023

Bionarasi

Yudha Adi Putra merupakan pemelihara burung prenjak. Kesenangannya pada burung memberikan motivasi untuk terus menulis. Ada banyak esai, puisi, dan cerpen yang ditulisnya. Kebanyakan membahas burung dan keresahan sosial. Lahir di Sleman, 24 November 1999. Saat ini, dalam perjuangan untuk studi di Fakultas Teologi UKDW. Menjadi dosen dan menulis merupakan impiannya, tentu bersama burung prenjak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun