"Memang benar. Kalau ada hubungannya dengan manusia itu ribet !"
Untuk orang seperti Pak Darso, burung mati atau lepas bukan alasan. Ia akan tetap memelihara dan melombakan burung. Meski rela tak makan, hingga dadanya kerempeng, perutnya kempis, dengan sorot mata layu. Uang untuk jatah belanja istrinya selalu diputar dari kemenangan lomba kicau burung. Kalau tidak, terpaksa utang. Pernah juga, ada yang menawari jualan obat kuat. Tapi, Pak Darso menolak.
Dibandingkan dengan pergi ke gereja, lebih banyak waktu Pak Darso habis di tempat gantang burung. Bekerja menjadi buruh pabrik, waktu hari Minggu menjadi sangat berarti. Ia rela tidak tidur semalaman, supaya tak terlambat ketika pagi. Gaji menjadi buruh memang hanya cukup untuk menjatah istri. Maka dari itu, Pak Darso setuju. Sebaik-baiknya istri adalah yang bekerja. Kalau bisa, pekerjaan yang banyak uang.
Pernah suatu ketika, Pak Darso ingin lepas dari hobi memelihara burung. Meski sudah banyak uang dihabiskan untuk merawat. Tetap saja, tak ada pelampiasan lain yang tepat sebagai laki-laki.
"Kalau merokok. Nanti tidak baik untuk kesehatan di hari tua. Lagi pula, di pabrik tidak bisa merokok !"
"Mau main perempuan. Itu juga menumpuk penyakit. Belum juga aib keluarga !"
Wajar saja, sudah menikah dengan Mbak Yanti. Pak Darso belum memiliki anak di usia pernikahan ke sepuluh.
"Memangnya, ada usulan kenakalan apa lagi ? Penat juga kalau tidak punya hewan peliharaan !" keluh Pak Darso. Itu diucapkan setelah seminggu, semua burungnya mati karena dimakan kucing istrinya.
Maka, setelah semua usaha hobi lain dicoba, tetap saja gagal. Pak Darso memilih untuk menjadi pemelihara burung dan ikut perlombaan di Minggu pagi. Tak jarang, pendeta sampai berkunjung ke rumah, hanya karena mau menanyakan.
"Kenapa Pak Darso jarang sekali ke gereja ? Saya lihat Pak Darso ke gereja hanya waktu natalan dan menjelang paskahan saja !" pendeta bertanya ketika bertamu di rumah Pak Darso.
Tak berani menjawab, Pak Darso malah mengalihkan pembicaraan dengan bercerita soal maling komputer di gereja. Ia juga malah menyindir, soal kebiasaan mabuk para pendeta setelah ibadah perjamuan selesai.