Cerpen Yudha Adi Putra
        Kicauan burung yang memanggil namanya sendiri sering menjadi penanda. Orang desa bilang, kalau burung prenjak berkicau akan ada tamu. Makanya, burung itu bernama prenjak tamu. Prenjak tamu kini berhati cemas. Bagaimana tidak, pohon untuk membuat sarang sudah tak ada. Berganti perumahan angkuh tanpa pohon.
        Akulah prenjak tamu terakhir. Begitu aku berusaha memperkenalkan diri. Sulitnya mencari pasangan di perumahan membuatku yakin. Mungkin saja, prenjak tamu sudah hampir punah. Aku sendirian. Kalau kalian melihatku, dulu pasti nampak lincah dengan kicauan keras. Itu dulu, kini aku tak berani menampakkan diri.
        Akan selalu ada lelaki dengan kurungan jebakan. Bukan kurungan burung biasa. Apalagi, kurungan untuk menangkarkan burung. Kalau penduduk desa mendengar nama prenjak tamu. Pikiran mereka sudah tertuju pada toko pakan burung. Berharap, masih ada prejak tamu tersisa. Kalau tidak, nanti menangkap. Pakai apa pun. Entah getah dicampur lem. Bisa juga dengan benang untuk menjerat kakiku.
        "Burung prenjak tamu tidak boleh diburu !"
        "Tidak boleh ditangkap. Biarkan hidup bersama kita !"
        "Bila ada yang melihatnya. Anggap saja itu sebagai penanda ! Jangan dijebak atau dipancing supaya hidup dalam sangkar !"
        Begitulah. Aku sering mendengar ucapan tetua desa. Tapi hanya dalam ucapan saja. Tiap siang, hampir selalu ada ranting dengan jebakan. Kata temanku dulu, jika kakiku menginjak ranting itu. Rasa lengket akan terasa. Belum lagi, bisa merusak bulu. Jadi tidak bisa terbang.
        Lantas, apa yang membuat penduduk desa menjadi memburu kami ? Memburu prenjak tamu ?
        Kalau tidak salah, ada gantangan burung di samping desa. Banyak perlombaan burung muncul. Ada uang di sana. Manusia butuh uang ? Jelas ! Kalau bisa dengan cara termudah. Menangkap burung prenjak misalnya. Tapi, tidak sepenuhnya benar demikian.