Cerpen Yudha Adi Putra
        Malam sebentar lagi tiba. Sumbu untuk sentir belum terganti. Masih hitam legam karena tadi pagi bercampur air hujan. Tak sempat dimatikan. Sentir sudah mati sendiri. Minyak tanah sebagai energi utama, sudah habis. Menyala sepanjang malam sudah menjadi tugas Sentir. Sebuah pembakar minyak tanah dengan sumbu lusuh seperti kolor.
        Sentir menjadi penerang ruangan di tiap rumah penduduk desa. Hampir setiap rumah punya. Menemani percakapan hingga larut malam sudah biasa. Sentir bisa mendengar rencana menanam esok hari para petani. Ia tahu percakapan maling di balik dinding bambu.
        "Matikan dulu sentirnya !"
        "Iya. Benar juga !"
        Baru setelah sentir mati, maling bisa bekerja dengan nyaman. Untuk yang bisa merasakan. Sentir mati bisa menjadi suatu tanda. Entah angin malam yang bertiup kencang. Bisa juga ada maling berdatangan.
        "Kenapa sentirnya mati ?"
        "Mungkin karena angin semalam. Lihat saja, minyak tanah masih penuh dalam botolnya. Semprong juga tak kelihatan kotor. Pasti karena angin!"
        "Bukan maling ?"
        Percakapan antara suami istri itu didengar sentir. Rasanya, ia ingin memberi tahu. Kalau semalam ada maling mampir. Mau mengambil barang di rumah. Tapi keburu pergi. Kakinya menginjak paku berkarat dan kesakitan. Ada juga rombongan ronda dengan sentir yang datang. Rumah pojok desa memang nyaman untuk dimaling. Kalau mau lari, tinggal menuju sawah. Pasti aman tidak terkejar.
        Sentir juga pernah dikira mati. Kejadina terjadi di kandang sapi. Barat desa, ada beberapa kandang sapi. Memang milik kelompok tani. Jadi, petani menggarap sawah dan memiliki sapi. Untuk membajak serta modal ketika musim tanam tiba. Traktor belum ada. Sapi masih cukup gagah dipakai berjalan di sawah meratakan tanah. Pada pojok kandang, ada juga sentir dinyalakan.
        "Itu sudah menyala belum ?"
        "Mati sepertinya. Sumbu gosong dan tidak mau menyalurkan api !"
        "Kita cari sumbu lain saja !"
        Sudah menyala. Tapi redup karena minyak tanah tercampur air. Kedua lelaki pemilik sapi keburu pergi. Mereka mencari sumbu. Ketika ditinggalkan, sentir menyala. Semprong belum dipasang. Malam membawa banyak angin. Sisa batang padi ditata rapi. Kering dan mudah terbakar. Tetesan minyak tanah memicu api menjalar. Sentir membakar kandang sapi.
        Saat kedua pemilik sapi kembali, mereka mengira ada maling datang dan membakar kandang.
        "Bukan ! Pasti ulah mereka yang mau membebaskan lahan."
        "Padahal, aku baru saja membeli sumbu untuk sentir!"
        Pada tepi sawah, sentir juga menemani sebuah gerobak. Banyak makanan terlihat nikmat ketika terkena sorotan cahaya sentir. Kuning dan menggoda. Ada rayuan.
        "Ayo makan aku. Kalian belum makan seharian, bukan?"
        "Makan di rumah pasti dimarahi istri kalian."
        Sentir menerangi beberapa gorengan. Ada sate juga. Minuman jahe tak terlupakan. Begitulah suasana malam di angkringan. Sebelum sentir tumpah, membakar angkringan hingga menghitam.
***
        Lampu datang dengan banyak warna. Redupnya sentir kalah. Sentir mulai kesepian di pojok ruangan. Ia hanya menjadi kawan rongsokan. Sesekali, ada yang mencarinya. Sekarang, hanya seperti hiasan saja. Kalau orang cari, pasti tidak untuk diberi minyak tanah.
        "Kalau pakai sentir, nanti kelihatan klasik. Jadi, lebih menjual tempat makan kita nanti !"
        "Tapi, dimana kita bisa mencari sentir?"
        Sentir tersenyum. Kini, ia menjadi barang yang begitu dicari. Bukan untuk menerangi, tapi untuk menghiasi. Kadang, ia teringat masa dimana bisa membakar kandang sapi. Ia juga ingat, wajah dua maling yang mengintip seorang janda mandi lalu kakinya menginjak paku.
        "Mereka senang hidup di masa lalu!"
        "Bukankah masa kini akan menjadi masa lalu juga ?"
        "Mungkin. Jika kau tak mati duluan atau paling tidak mulai dilupakan."
        Sentir kebingungan. Percakapannya dengan lampu harus terjadi setiap malam. Karena kini, sentir menjadi pembungkus lampu taman.
        "Kalau begini, tampilannya sama seperti masa dulu. Ketika hidup di desa dan belum ada lampu,"
        "Tapi, lebih aman. Karena tidak akan terbakar. Kamu ingat, Kakek pernah bercerita kalau kandang sapinya terbakar ? Lalu, tentang angkringan yang terpanggang ?"
        Sentir mendengar percakapan kedua orang itu. Ia tersenyum. Selalu ada banyak cerita tentang cahaya.          Â
                                                        Godean, 23 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H