"Jadi dong, nanti jam sepuluh ya. Kamu jangan lupa mandi dulu, masa ketemu mertua tidak mandi!" balas suami Andin.
Sebagai pasangan muda, mereka tinggal di perumahan samping desa. Maklum saja, banyak lahan di desa sengaja buat sawah saja. Tidak dijadikan rumah supaya bisa buat menanam padi. Sepertinya, penduduk desa sadar betul. Kalau padi itu ditanam dan tumbuh, bukan dicetak memakai mesin pabrik.
"Ayo, kita berangkat !" teriak suami Andin.
Dengan tergesa-gesa, Andin masuk mobil yang sudah lama menyala. Suaminya hanya geleng-geleng kepala.
"Dandannya kurang lama!" bentak suami Andin.
"Kenapa terburu-buru, lagian hari ini aku libur. Kamu juga gak kerja ?" tanya Andin.
"Bukan soal itu. Nanti ada pasar tiban. Jadi, jalanan bisa macet kalau terlalu siang. Makanya cepetan!"
Mobil mulai melaju keluar dari perumahan. Nampak perumahan dengan penghuni yang tidak saling ingin tahu urusan masing-masing. Kadang, hidup seperti itu diperlukan. Kalau di desa, semua hampir ingin tahu. Pulang dengan siapa dan jam berapa, apalagi soal perempuan. Seolah hanya menjadi barang saja.
"Mas. Hati-hati dong nyetirnya! Jalanan macet itu !" bentak Arin. Setelah itu, terdengar suara benturan di belakang mobil.
"Aduh. Kok kayak ada yang nabrak mobil kita !"
Jalanan memang macet. Banyak pengendara dan pedagang lalu lalang menyebrang. Pasar unggas sedang ramai. Hari cerah, saat keluar mobil. Andin melihat perempuan tua menabrak mobil milik suaminya. Ia marah.