Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangisan Perempuan Penjual Burung

17 Januari 2023   17:00 Diperbarui: 17 Januari 2023   16:59 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangisan Perempuan Penjual Burung

Cerpen Yudha Adi Putra

Hujan deras mengguyur pasar unggas. Hari masih pagi, menjadi saat terbaik untuk menjual burung. Tapi, semua gagal karena hujan. Banyak burung menggembungkan badannya kedinginan. Seolah malas untuk berkicau dan lompat dalam sangkar. Baru ketika ada sepasang mata menatap, burung mau bergerak.

"Burung kepodangnya dijual berapa, Pak ?" tanya Darso pada penjual burung yang sedang asyik bermain kartu.

"Dua ratus ribu. Silakan. Boleh nego semampunya!" ujar pedagang.

Begitulah suasana pagi di pasar unggas. Banyak lelaki berdatangan dengan dana kenakalan masing-masing. Meski tak jarang hanya jalan-jalan karena di rumah istri hanya ngomel melulu. Melepas penat, melihat kawan dengan hobi yang sama. Memelihara burung. Tidak jarang, penampilan pasar unggas menjadi kotor ketika hujan tiba. Maklum saja, hampir semua yang ada di sana laki-laki. Jadi, tidak pernah dibersihkan kecuali mau pulang. Tapi, pernah ada perempuan yang berjualan burung. Seorang nenek-nenek, hampir tidak ada yang tahu. Kalau nenek itu berjualan burung karena ia hanya membawa besek untuk membawa burung.

"Burung bagus tidak untuk dipamerkan. Biar jadi kejutan, tapi jenis burungnya sesuai yang saya katakan," kata nenek penjual burung.

"Memangnya, siapa nama penjual burung itu?" kata Darso ketika tahu ada penjual burung kepodang murah. Tetangganya dapat harga lima puluh ribu untuk sepasang burung kepodang.

***

Andin tak pernah mempersoalkan hobi suaminya, memelihara burung. Hanya saja, ketika ada masalah penting. Sering suaminya lebih mementingkan burungnya. Misal, ketika diminta mengantarkan ke salon malah pamitan ada lomba gantangan burung. Itu menyebalkan sekali bagi Andin.

"Mas, hari ini kita jadi berangkat ke tempat Ibu, kan ?" tanya Andin pada suaminya yang sedang asyik memandikan burung.

"Jadi dong, nanti jam sepuluh ya. Kamu jangan lupa mandi dulu, masa ketemu mertua tidak mandi!" balas suami Andin.

Sebagai pasangan muda, mereka tinggal di perumahan samping desa. Maklum saja, banyak lahan di desa sengaja buat sawah saja. Tidak dijadikan rumah supaya bisa buat menanam padi. Sepertinya, penduduk desa sadar betul. Kalau padi itu ditanam dan tumbuh, bukan dicetak memakai mesin pabrik.

"Ayo, kita berangkat !" teriak suami Andin.

Dengan tergesa-gesa, Andin masuk mobil yang sudah lama menyala. Suaminya hanya geleng-geleng kepala.

"Dandannya kurang lama!" bentak suami Andin.

"Kenapa terburu-buru, lagian hari ini aku libur. Kamu juga gak kerja ?" tanya Andin.

"Bukan soal itu. Nanti ada pasar tiban. Jadi, jalanan bisa macet kalau terlalu siang. Makanya cepetan!"

Mobil mulai melaju keluar dari perumahan. Nampak perumahan dengan penghuni yang tidak saling ingin tahu urusan masing-masing. Kadang, hidup seperti itu diperlukan. Kalau di desa, semua hampir ingin tahu. Pulang dengan siapa dan jam berapa, apalagi soal perempuan. Seolah hanya menjadi barang saja.

"Mas. Hati-hati dong nyetirnya! Jalanan macet itu !" bentak Arin. Setelah itu, terdengar suara benturan di belakang mobil.

"Aduh. Kok kayak ada yang nabrak mobil kita !"

Jalanan memang macet. Banyak pengendara dan pedagang lalu lalang menyebrang. Pasar unggas sedang ramai. Hari cerah, saat keluar mobil. Andin melihat perempuan tua menabrak mobil milik suaminya. Ia marah.

"Sudah. Tidak apa. Mobilnya masih garansi. Kasihan ibunya, burungnya terbang semua," kata suami Andin. Perempuan penjual burung tadi hanya menangis, ia ketakutan.

***

Saat sampai di desa, Andin terkejut melihat perempuan penjual burung tadi dikabarkan meninggal dunia. Ia menerima telpon dari tetangganya. Kalau perempuan penjual burung itu ternyata tinggal di desa yang sama dengan mertuanya.

"Dia bukan penjual burung biasa. Hari-harinya penuh pelajaran yang tak pernah terpikirkan oleh orang kota," kata mertua Andin.

"Apa itu, Bu ?"

"Bersyukur!" jelas Ibu mertua Andin. Sambil menatap ke arah pintu. Ada beberapa lelaki bertanya.

"Mbakyu Painem mau dimakamkan dimana ya Bu," tanya seorang lelaki.

"Makam keluarga. Makam yang dekat dengan orangtuaku,"

Perbincangan soal meninggalnya perempuan penjual burung menjadi hangat. Mertua Andin berhasil menuruti permintaan kakaknya.

"Aku akan terus menjadi penjual burung, dik. Sambil terus mencari Mas Yanto. Aku yakin, suatu saat bisa bertemu dengannya," ujar Painem saat pernikahan Andin. Tepat dimana Yanto, suami Painem tak kembali meski pamit berjualan burung.

Godean, 17 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun