"Kalau bisa, bilang saja tidak punya kembalian. Mereka orang kaya, pasti uangnya banyak kalau cuma buat beli tahu petis." Pernah penjual tahu petis itu mendengar perkataan kawannya yang sudah lama berjualan. Kawan itu menjadi bos dari beberapa penjual tahu, bernama Darso Utomo. Mantan pegawai apotek samping kecamatan.
"Lalu, kenapa sekarang kamu tidak berjualan lagi ?" tanya penjual tahu petis baru. Ia sebenarnya seorang supir proyek. Saat mau mendaftar berjualan tahu petis secara asongan di jalan raya. Seragam supirnya masih digunakan. Ada bertuliskan nama Gatot Subagyo.
"Berjualan asongan itu uangnya habis buat pijet. Bayangkan saja, setiap pagi sampai siang. Kalau lagi semangat bisa sampai malam. Berjuang menggendhong kotak berisi tahu. Pegal sekali. Belum terkena suara berisik klakson. Kadang panas, tak jarang hujan. Banyak risikonya. Makanya, sekarang aku coba pekerjaan lain," jawabnya.
Karena memang tidak ada pilihan, Pak Bagyo mau menjadi penjual tahu petis asongan. Setidaknya sementara, sampai ada yang memakai jasa sopirnya. Kalau saja dia ada mobil, pasti ia bisa bekerja mengantarkan barang atau hewan ke pasar hewan setiap Selasa.
***
Ketika hendak berjualan tahu petis, Pak Bagyo diminta untuk mencatat sebuah nomor kendaraan. Catatan itu dibawa dalam gendhongan bersama beberapa tahu petis.
"Pak, nanti sekitar jam sepuluh pagi. Tolong cari dan berikan bungkusan tahu petis ini pada nomor kendaraan sesuai dalam tulisan. Harus tepat ya Pak," ujar Pak Darso, bosnya.
"Siap, apakah ini pesanan tahu ya?" tanya Pak Bagyo.
Pak Darso tak menjawab, Pak Bagyo lalu lanjut mengayuh sepedanya menuju tempat berjualan. Hari ini agak mendung, pembeli sepi, padahal anak Pak Bagyo sedang ingin dibelikan sepatu baru.
"Semoga saja ada yang memberi uang kembalian lebih. Jadi nanti, bisa buat beli sepatu," harap Pak Bagyo sambil mengusap keringatnya.
Matahari mulai menampakkan diri. Mobil dan motor berdatangan dan itu mendapatkan sambutan dari Pak Bagyo.