Pawang itu Bernama Arin
Cerpen Yudha Adi Putra
Hampir semua penari kuda lumping yang pernah pentas bersamanya berusaha untuk menyatakan cinta, tapi tak pernah jelas hubungannya. Bukan hanya cantik, perempuan itu pandai menari, menyanyi, dan membuat kelompok jathilan selalu ramai dengan penonton. Ada kerelaan datang dari berbagai daerah, demi bisa melihat perempuan dengan kelihaian memainkan dupa dan kuda lumping.
Jathilan selalu identik dengan tarian kuda lumping, ada adegan dimana para penari kerasukan setan. Itu menjadi momen paling ditunggu. Ada yang seketika mau mendekat, dengan harapan bisa melihat penari dengan gerakan kesurupan, seakan semuanya mau dimakan saja. Penari jathilan bisa makan ayam mentah hanya dengan gigitan, selalu melotot menyeramkan dan tiba-tiba bisa melompat ke kubangan air, kemudian penonton akan takjub dengan cara pawang menenangkan penari jathilan.
Pawang jathilan biasanya laki-laki dengan kumis hitam, baju serba hitam, dan ada cambuk yang dimainkan. Pernah melihat pawang jathilan seorang perempuan ? Mungkin jarang, kalau ada itu akan sangat diminati. Jathilan perempuan saja selalu ramai penonton. Penonton seolah tertarik kalau perempuan yang kesurupan. Semakin banyak penonton datang, tentu popularitas pemain jathilan akan bertambah. Besok lain waktu bisa menari lagi, begitu juga yang ada dalam pikiran Arin.
Perempuan itu tak mempersoalkan pekerjaannya bersama kelompok jathilan. Pernah, bahkan sering setiap pentas ada saja lelaki yang jatuh hati padanya. Meski mereka sadar, mencintai perempuan dengan profesi sebagai pekerja seni adalah seni untuk sakit hati. Bergumul dengan profesionalitas hingga tidak mengenal mana lelaki prioritas.
"Mungkin itu alasan kenapa Arin belum menikah juga," kata seorang pemain kendhang.
"Berat memiliki pasangan seperti Arin, jam terbangnya tinggi. Biayanya pasti juga tinggi sekali. Honor bermain kendhang tak akan cukup," balas lelaki yang memukul gong.
Ketika pentas, ada saja pembicaraan soal Arin. Bukan hanya karena kecantikkannya, tapi perjalanan cintanya yang rumit dan membawa misteri bagi siapa saja pengemarnya.
Pernah Arin dekat dengan seorang laki-laki penari jathilan juga, tapi dulu ketika Arin masih menjadi penari jathilan. Kini, dia tak menari, melainkan menjadi pawang perempuan. Karena sesama penari jathilan, Arin bisa mendapatkan tempat untuk bercerita. Setidaknya, untuk mengeluh soal bagaimana pandangan kebanyakan orang terkait pemain jathilan. Tapi, lelaki itu menghilang tepat ketika Pak Bagyo meninggal dunia. Arin sempat merasa kehilangan.
***
"Mereka pasti mainan setan. Kasihan, setan mau bebas malah diajak menari-nari. Itu kalau setannya tidak terima bagaimana?" sindir tetangga Arin.
"Besok lagi, sudah tidak main jathilan. Ini pentas yang terakhir ! Kamu harus kuliah, jadi pemain jathilan tak punya masa depan. Badan sakit semua, mainan sama setan," bentak seorang Ibu pada anaknya, kebetulan anak itu adalah teman Arin di kelompok penari jathilan. Namun, lelaki itu sempat menghilang dari kesenian jathilan. Suatu ketika malah datang kepada Arin bersama seorang anak perempuan.
Percakapan seperti hinaan menhiasi masa remaja Arin, bukan karena dia tidak mau kuliah, tapi kecintaannya pada dunia seni, terutama jathilan lebih penting dari semuanya.
"Bukankah, kita akan lebih bahagia jika bisa melakukan hal yang kita cintai ?" kata Arin ketika ditanya, kenapa dia masih mau berkecimpung di dunia jathilan, padahal semua teman seusianya sudah berkuliah dan menejar impian.
"Kenapa mereka yang kuliah dan katanya berpendidikan justru merendahkan orang lain ? Apa salahnya kesenian jathilan ? Ini kesenian, bukan mainan setan !" jelas Arin.
Tapi, Arin tahu, bahwa pandangan masyarakat kebanyakkan bisa saja menjadi kebenaran. Ia memiliki kepercayaan ketika semua sudah serba berkembang, menjadi klasik dengan kesenian bisa berdampak dua kemungkinan. Tertinggal penuh hinaan atau menjadi sesuatu yang dicari dan memiliki kekhasan. Dan yang terakhir itu sedang diperjuangkan oleh Arin, ia menjadi pawang perempuan. Sebenarnya tidak hanya pawang, ia bisa saja menyanyi, menari, bahkan mengatur keuangan kelompok jathilan.
"Semua bisa beres di tangan perempuan. Kalau tidak, nanti cuma buat mabuk-mabukan!" kata Arin.
Beberapa teman di kelompok jathilan sangat membanggakan Arin, ada anggapan bahwa Arin adalah magnet bagi kedatangan banyak uang.
"Kebanyakan orang bosan dengan jathilan yang biasa. Menari sebentar, lalu kesurupan, dan kalau mungkin sedikit tawuran. Tapi, kalau Arin mengusahakan cara lain. Penari dirias sedemikian rupa, diberi kacamata. Jika ada kerusuhan, Arin memiliki teman sebagai pemantau dan ketika sudah tahu siapa pelakunya, ganti rugi menjadi tanggung jawab yang dipaksakan," puji pengatur pengeras suara.
Melewati banyak perjalanan bersama jathilan, Arin sering tersenyum sendiri. Ia bahagia dengan apa yang dijalani. Kebahagiaan itu dibagikan dengan karya dan kepedulian. Tentu, Arin juga sadar bahwa menjadi pawang perempuan banyak risiko. Entah dari kelompok jathilan lain atau dari siapa saja yang tidak senang dengannya, terutama laki-laki yang pernah menyatakan cinta padanya, tapi ia tolak. Bagi Arin, hanya ada satu lelaki yang paling berkesan dalam hidupnya.
***
Pak Darto, salah seorang pemain gendhang, suatu sore memberi kabar kalau Minggu depan kelompok kesenian jathilan mendapatkan undangan untuk pentas. Katanya, ada anak pejabat setelah sunatan minta diadakan kesenian jathilan. Tidak mungkin Arin melewatkan kesempatan itu. Tiap ada undangan pentas, hanya pemain jathilan laki-laki yang boleh tampil. Arin dan kelima temannya tidak boleh. Dari kabar itu, ia memberanikan diri untuk memohon pada pemimpin kelompok, Pak Bagyo.
"Pak, aku dengar Mas Satya itu senang dengan salah satu penari jathilan perempuan. Bagaimana kalau ada babak khusus, dimana kami boleh menari. Sebentar saja," pinta Arin pada Pak Bagyo, ayahnya sendiri.
"Jathilan perempuan banyak risikonya. Nanti dikira siap untuk dilecehkan. Belum lagi, penampilan salah sedikit dikira vurgar dan erotis. Mata lelaki saja yang tidak bisa dijaga, sering menyalahkan penampilan perempuan. Tapi, memang begitu realitanya," jelas Pak Bagyo.
Budaya ketika semua harus sesuai dan memenuhi keinginan memang menyebalkan, meski Arin hanya pemudi desa. Ia tahu betul, kalau perempuan perannya menjadi terbatas. Kalau bisa dan harus bisa ahli dalam bidang dapur, sumur, dan kasur. Baru itu disebut perempuan baik dalam masyarakat. Memberontak sedikit saja, nanti dikira tidak bersyukur sudah diberi suami. Hanya merespon saja, tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perempuan seolah tidak boleh menjadi tuan. Hingga suatu ketika, Arin mendengar perkataan seorang yang ia kira akan menyebalkan karena sering mengatakan hal yang sebenarnya tak pernah ada.
"Nah, aku tidak mau kamu menjadi perempuan seperti kebanyakan. Perempuan yang hanya menjadi teman di belakang. Kalau nanti kita bisa bersama, kamu boleh memilih. Aku yang nganggur atau kamu yang bekerja. Bagaimana ? Aku ingin hidup dari kata dan tulisan dalam keadaan bahagia. Aku yakin, kita bisa bahagia dengan melakukan hal yang kita cintai, meski tidak kaya. Sebagai antisipasi, makanya kamu harus bekerja," kata seorang laki-laki pada Arin, tepat ketika Arin merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Seorang lelaki penyandang disabilitas dengan puisi yang sangat disenangi Arin, tapi dibenci oleh Pak Bagyo.
Perkataan laki-laki itu mungkin akan menjadi semangat sekaligus perpisahan terindah selama ia berjuang menjadi penari jathilan perempuan. Bahkan, ia tak mengira sekarang bisa menjadi pawang.
                                                                Godean, 15 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H