Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawang itu Bernama Arin

15 Januari 2023   23:15 Diperbarui: 15 Januari 2023   23:18 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mereka pasti mainan setan. Kasihan, setan mau bebas malah diajak menari-nari. Itu kalau setannya tidak terima bagaimana?" sindir tetangga Arin.

"Besok lagi, sudah tidak main jathilan. Ini pentas yang terakhir ! Kamu harus kuliah, jadi pemain jathilan tak punya masa depan. Badan sakit semua, mainan sama setan," bentak seorang Ibu pada anaknya, kebetulan anak itu adalah teman Arin di kelompok penari jathilan. Namun, lelaki itu sempat menghilang dari kesenian jathilan. Suatu ketika malah datang kepada Arin bersama seorang anak perempuan.

Percakapan seperti hinaan menhiasi masa remaja Arin, bukan karena dia tidak mau kuliah, tapi kecintaannya pada dunia seni, terutama jathilan lebih penting dari semuanya.

"Bukankah, kita akan lebih bahagia jika bisa melakukan hal yang kita cintai ?" kata Arin ketika ditanya, kenapa dia masih mau berkecimpung di dunia jathilan, padahal semua teman seusianya sudah berkuliah dan menejar impian.

"Kenapa mereka yang kuliah dan katanya berpendidikan justru merendahkan orang lain ? Apa salahnya kesenian jathilan ? Ini kesenian, bukan mainan setan !" jelas Arin.

Tapi, Arin tahu, bahwa pandangan masyarakat kebanyakkan bisa saja menjadi kebenaran. Ia memiliki kepercayaan ketika semua sudah serba berkembang, menjadi klasik dengan kesenian bisa berdampak dua kemungkinan. Tertinggal penuh hinaan atau menjadi sesuatu yang dicari dan memiliki kekhasan. Dan yang terakhir itu sedang diperjuangkan oleh Arin, ia menjadi pawang perempuan. Sebenarnya tidak hanya pawang, ia bisa saja menyanyi, menari, bahkan mengatur keuangan kelompok jathilan.

"Semua bisa beres di tangan perempuan. Kalau tidak, nanti cuma buat mabuk-mabukan!" kata Arin.

Beberapa teman di kelompok jathilan sangat membanggakan Arin, ada anggapan bahwa Arin adalah magnet bagi kedatangan banyak uang.

"Kebanyakan orang bosan dengan jathilan yang biasa. Menari sebentar, lalu kesurupan, dan kalau mungkin sedikit tawuran. Tapi, kalau Arin mengusahakan cara lain. Penari dirias sedemikian rupa, diberi kacamata. Jika ada kerusuhan, Arin memiliki teman sebagai pemantau dan ketika sudah tahu siapa pelakunya, ganti rugi menjadi tanggung jawab yang dipaksakan," puji pengatur pengeras suara.

Melewati banyak perjalanan bersama jathilan, Arin sering tersenyum sendiri. Ia bahagia dengan apa yang dijalani. Kebahagiaan itu dibagikan dengan karya dan kepedulian. Tentu, Arin juga sadar bahwa menjadi pawang perempuan banyak risiko. Entah dari kelompok jathilan lain atau dari siapa saja yang tidak senang dengannya, terutama laki-laki yang pernah menyatakan cinta padanya, tapi ia tolak. Bagi Arin, hanya ada satu lelaki yang paling berkesan dalam hidupnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun