Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawang itu Bernama Arin

15 Januari 2023   23:15 Diperbarui: 15 Januari 2023   23:18 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pak Darto, salah seorang pemain gendhang, suatu sore memberi kabar kalau Minggu depan kelompok kesenian jathilan mendapatkan undangan untuk pentas. Katanya, ada anak pejabat setelah sunatan minta diadakan kesenian jathilan. Tidak mungkin Arin melewatkan kesempatan itu. Tiap ada undangan pentas, hanya pemain jathilan laki-laki yang boleh tampil. Arin dan kelima temannya tidak boleh. Dari kabar itu, ia memberanikan diri untuk memohon pada pemimpin kelompok, Pak Bagyo.

"Pak, aku dengar Mas Satya itu senang dengan salah satu penari jathilan perempuan. Bagaimana kalau ada babak khusus, dimana kami boleh menari. Sebentar saja," pinta Arin pada Pak Bagyo, ayahnya sendiri.

"Jathilan perempuan banyak risikonya. Nanti dikira siap untuk dilecehkan. Belum lagi, penampilan salah sedikit dikira vurgar dan erotis. Mata lelaki saja yang tidak bisa dijaga, sering menyalahkan penampilan perempuan. Tapi, memang begitu realitanya," jelas Pak Bagyo.

Budaya ketika semua harus sesuai dan memenuhi keinginan memang menyebalkan, meski Arin hanya pemudi desa. Ia tahu betul, kalau perempuan perannya menjadi terbatas. Kalau bisa dan harus bisa ahli dalam bidang dapur, sumur, dan kasur. Baru itu disebut perempuan baik dalam masyarakat. Memberontak sedikit saja, nanti dikira tidak bersyukur sudah diberi suami. Hanya merespon saja, tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perempuan seolah tidak boleh menjadi tuan. Hingga suatu ketika, Arin mendengar perkataan seorang yang ia kira akan menyebalkan karena sering mengatakan hal yang sebenarnya tak pernah ada.

"Nah, aku tidak mau kamu menjadi perempuan seperti kebanyakan. Perempuan yang hanya menjadi teman di belakang. Kalau nanti kita bisa bersama, kamu boleh memilih. Aku yang nganggur atau kamu yang bekerja. Bagaimana ? Aku ingin hidup dari kata dan tulisan dalam keadaan bahagia. Aku yakin, kita bisa bahagia dengan melakukan hal yang kita cintai, meski tidak kaya. Sebagai antisipasi, makanya kamu harus bekerja," kata seorang laki-laki pada Arin, tepat ketika Arin merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Seorang lelaki penyandang disabilitas dengan puisi yang sangat disenangi Arin, tapi dibenci oleh Pak Bagyo.

Perkataan laki-laki itu mungkin akan menjadi semangat sekaligus perpisahan terindah selama ia berjuang menjadi penari jathilan perempuan. Bahkan, ia tak mengira sekarang bisa menjadi pawang.

                                                                                                                                Godean, 15 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun