Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesempatan dalam Kurungan

8 Januari 2023   11:00 Diperbarui: 8 Januari 2023   11:09 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesempatan dalam Kurungan

Cerpen Yudha Adi Putra

"Sial. Ranting apa ini, kenapa lengket sekali!" terdengar suara burung pleci mengaduh. Bulunya terkena getah lengket. Getah itu sengaja dipasang oleh Bayu. Tapi, hanya ditinggalkan begitu saja.

"Siapa kau ? Mendekat kalau berani," teriak burung pleci. Suara mereka saut-sautan hanya terdengar sebagai kicauan. Sebenarnya, mereka sedang saling berbicara.

Burung pleci merupakan burung kecil. Jangan di remehkan, suaranya keras dan bisa menirukan banyak kicauan burung. Kalau memanggil teman-temannya, terdengar cuitan keras dan panjang. Itu menjadi kesenagan Bayu tiap pagi. Burung pleci dimandikan, lalu diberi dahan kecil beserta jebakan dari getah.

"Gara-gara mendekati dirimu. Aku jadi kena ranting lengket ini. Dasar burung dalam sangkar. Burung manja kamu ini !" bentak burung pleci. Ia berusaha mengepakkan sayapnya. Tapi tetap tidak bisa, kedua sayapnya lengket. Sedikit bergerak saja, bisa tercabut bulunya. Tentu akan sakit sekali.

"Bilang saja, kalau kau tidak berani padaku ! Burung liar memang begitu ya ? Lemah sekali !" ejek burung pleci dalam sangkar.

Antara burung pleci peliharaan dalam sangkar dan burung pleci liar memang sering bertengkar. Mereka saling ejek. Bisa juga memanggil kawan lain untuk membantu. Sebagai burung yang hidup berkoloni, pleci akan sulit berkicau dengan keras. Picuan kicauan lawan akan membuat merasa tertantang. Persis seperti peristiwa sore ini.

"Bagaimana ini, aku ingin terbang bebas. Kenapa kakiku tak bisa digerakkan ? Ini sengaja ya ? Supaya aku nanti dikurung seperti dirimu dalam sangkar ?" keluh burung pleci liar. Bulu kuning keabuabuannya nampak mulai rusak.

"Mana aku tahu, aku hanya bernyanyi. Makanya, jangan merasa paling pintar. Kami burung dalam sangkar lebih diperhatikan," kata burung pleci dalam sangkar.

"Memang, ada kalanya juga. Aku ingin bisa terbang bebas seperti dirimu, tapi makanan sudah tersedia. Kalau musim kawin, nanti pemilikku akan menjodohkan. Enak sekali bukan ?" lanjut pleci dalam sangkar.

Burung pleci liar hanya terdiam. Ia merasakan tubuhnya terangkat. Ada tangan Ibunya Bayu mencoba melepaskan dari dahan penuh jebakkan itu.

"Sialan. Mau dibawa kemana aku ?" pleci dalam genggaman tangan itu menjerit. Kesempatan terbang muncul ketika Ibunya Bayu merasa gatal. Ada semut menggigit kaki perempuan paruh baya itu. Seketika, burung pleci liar tadi terbang bebas. Tak lupa, ia menghina burung dalam sangkar.

"Begitulah, pentingnya mencari kesempatan. Kau juga harus mencari kesempatan kalau mau bebas. Kesempatan dalam kurungan. Hahaha," teriak pleci liar.

***

"Kenapa semalam Bayu tidak menurunkan kita ya, padahal hujan deras. Buluku masih basah semua. Tega sekali, apa dia lupa kalau memelihara kita ?" keluh burung prenjak. Ada tiga burung yang berada dalam sangkar. Ketiganya tidak dimasukkan dalam rumah. Mereka berada di samping rumah dan kena air hujan.

"Pagi begini, sebenarnya segar sekali embunnya. Aku suka, rasanya menjadi semangat memulai hari dalam sangkar kecil ini," kata burung pleci. Seolah dia tidak peduli keluhan burung prenjak.

"Lihat, seperti burung pleci itu. Dia tidak mengeluh meski bulunya terkena embun. Tapi, kamu baru diletakkan di luar saja sudah mengeluh terus. Ini enak tahu, lebih dekat dengan alam. Kemana burung pleci liar kemarin ? Aku kira sudah dalam sangkar," burung sogon mencoba berkomentar. Ia mengkibas-kibaskan ekornya. Nampak menikmati pagi meski belum sepenuhnya menjadi cerah.

"Dia terbang lagi, nanti pasti mendekat lagi. Kita undang saja. Menyenangkan sekali menghina burung liar sulit mencari makan itu. Hahaha," kata burung pleci.

Mereka menyanyikan lagi pagi. Nampak sahut-sahutan dengan burung liat di kebun. Sesekali, terdengar burung ciblek. Burung prenjak juga memanggil kawannya. Ramai sekali. Keramaian itu membuat Bayu datang.

 "Wah, ada burung prenjak lagi. Ayo, kita jebak lagi. Pindah lagi saja sangkarnya!" teriak Bayu pada adiknya, Aditya.

"Kita bawa ke dekat sawah saja. Bawah pohon gayam," usul Aditya.

"Tapi, di sana banyak semutnya. Bagaimana ?" lanjutnya.

Belum sempat Bayu menjawab, ketiga sangkar tadi sudah diturunkan dulu oleh Aditya. Wajah semangat menangkap burung terlihat jelas pada kedua kakak adik itu. Umpan disiapkan berupa pisang.

"Taruh sini saja!" Aditya menunjuk sebuah dahan.

"Sulit nanti mengambilnya," jawab Bayu.

Burung pleci dalam sangkar nampak kebingungan. Dari kejauhan, ia melihat pleci liar yang kemarin terkena jebakan memberi isyarat untuk terbang.

"Tidak mau, untuk apa keluar dari sangkar ?" kata pleci dalam sangkar.

"Nanti kita bisa jalan-jalan, kau mau makan pisang tanpa batas, tidak basi seperti dalam sangkar itu ?"

Bayu menaikkan sangkar dengan bantuan galah panjang. Ketika sudah mendekati dahan, ternyata dahannya patah. Seketika, sangkar berisi burung pleci terjatuh. Pintunya terbuka.

Burung prenjak berkicau seolah memohon, "Kapan ya giliranku ? Pleci sudah memakai kesempatan dalam kurungan. Ia sudah bertemu temannya. Aku ingin juga,"

Sumber Gamol, 08 Januari 2023

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun