Kedatangan Pamong Masyarakat
Cerpen Yudha Adi Putra
Mbah Darto sudah lama sakit, kata dokter dia menderita penyakit bernama parkinson. Ia tinggal bersama istri dan anaknya yang sudah berkeluarga. Jadi, tidak salah kalau penduduk desa sering menyebut mereka dengan sebutan keluarga besar pojok desa. Memang, rumah Mbah Darto berada paling ujung desa, dekat dengan sawah.
"Mbah Darto gimana kabarnya sekarang ? Aku lama tidak ke rumahnya. Terakhir, pas ngantar undangan buat mimpin tirakatan waktu merti dusun," Bandiyo bertanya pada lelaki di depannya.
      "Sehat, Pak. Tapi, ya begitu. Tiap bulan harus rutin ke dokter. Kontrol kesehatan. Mbah Darto juga harus obat jalan," jawab Sutoyo.
Penjual angkringan mulai meletakkan pesanan mereka berdua. Aroma gorengan dibakar membuat lapar petani-petani sepulang dari sawah. Aneka jajanan pasar juga tak kalah menarik. Satu hal yang pasti dipesan mereka. Jahe panas lengkap dengan rempah dan susu. Itu bagi mereka bisa menjadi penganti letihnya seharian berada di sawah.
"Aku ikut senang kalau begitu. Pantesan, sudah tidak kelihatan ke sawah lagi. Sekarang gantian dirimu yang ke sawah ? Benar begitu po, Sut ?" ucap Bandiyo seraya meraih sate usus. Ia nampak lapar karena memang sejak siang belum makan.
"Cuma cari burung tadi, Pak. Saya tidak mengurusi sawah. Baru sebentar, kok tiba-tiba sudah sore,"
"Lha, dirimu sekarang memangnya dimana ?" lanjut Bandiyo.
Sutoyo hanya diam dan wajahnya nampak ketus. Bandiyo memang pamong masyarakat, tapi caranya berbicara kadang menyakitkan. Dan yang paling membuat Sutoyo kesal adalah bertemu lagi dengan pertanyaan khas masyarakat desa. Orang desa itu selalu ingin tahu kondisi orang lain, terutama tetangganya. Tapi, sebenarnya tidak peduli hanya menjadi tolok ukur capaian diri. Hidup di desa indah ? Kata siapa ? Sutoyo tak menemukan keindahan itu. Hidup menjadi penuh dengan keharusan mencapai. Mencari jawaban dari pertanyaan Pak Bandiyo bagi Sutoyo, susahnya minta ampun. Memang, sejak menikah, Sutoyo hanya menganggur. Istrinya yang bekerja. Dulu, Sutoyo sempat bekerja, tapi tidak betah lalu keluar.
"Saya di sini, Pak. Ini lagi mau nambah pesan gorengan. Gorengannya Lik Yut memang enak. Membakarnya tulus dan penuh kecap saos," celatuk Sutoyo. Seolah ia tidak mau ambil pusing atas pertanyaan Bandiyo tadi.
***
Akhir tahun hanya tinggal hitungan hari, Mbah Darto pasti memastikan soal jimpitan dan iuran RT pada anaknya. Meski sudah tua, Mbah Darto tidak mau dikasihani, lalu dibebaskan dari kewajiban hidup bermasyarakat. Ia sadar betul, setiap rumah di desa harus mengumpulkan jimpitan dan iuran RT untuk pembangunan. Entah nanti dipakai buat memperhalus jalan atau mengganti lamu penerangan di pertigaan desa.
"Sudah bayar iuran RT sama jimpitan to, Sut ?" tanya Mbah Darto.
Minum obat sore tepat jam lima menjadi keharusannya. Kalau terlambat sebentar saja, nanti penyakitnya kambuh. Itu yang selalu dihindari istri Sutoyo dan anaknya. Mereka takut, Mbah Darto kalau kambuh bisa lumpuh, itu membuatnya marah dan ingat betul secara detail kesalahan orang lain, termasuk anak mantunya.
"Sudah saya bayarkan kemarin siang, Mbah. Kebetulan, saya bertemu dengan Mas Harso yang bertugas," istri Sutoyo menjawab. Ia juga membuatkan kopi kesukaan Mbah Darto dan kudapan yang dibelinya tadi sepulang bekerja.
"Baik kalau begitu, semoga semua baik-baik saja," kata Sutoyo, seolah dia merasakan kalau nanti ada hal tidak beres.
Sutoyo tahu betul keluhan istrinya ketika Mbah Darto marah. Jadi, meski tidak bekerja dan mungkin dianggap gagal oleh masyarakat, termasuk istrinya sendiri. Ia memohon pada istrinya untuk berusaha memberi makan ego Mbah Darto juga. Memang, hubungan antara menantu dan mertua tidak akan baik-baik saja. Tapi, bagi Sutoyo, bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Itu bukan persoalannya, baginya menjadi penting untuk menjaga harmoni dalam keluarga besar. Apalagi, Sutoyo adalah anak semata wayang Mbah Darto.
"Aku lelah hidup dengan Mbah Darto, orangtuamu. Bagaimana kalau kita pindah rumah ? Sewa rumah kecil atau mulai mencicil rumah sederhana ? Nanti, biar anak kita bisa tumbuh dengan pola didik yang sehat. Kau tahu sendiri, orangtuamu orangnya otoriter dan apa saja yang diinginkan harus dituruti. Bayangkan, kalau anak kita tiap hari bertemu dengan orang seperti itu," keluh istri Sutoyo pada suatu malam.
"Tidak bisa. Bagaimana mau pindah ? Nanti siapa yang merawat Mbah Darto. Kau juga tahu, kalau orangtuaku harus rutin ke dokter. Minum obat tidak boleh terlambat. Lagian, anak itu bukan milik kita, tapi hanya titipan dari Tuhan bukan ?" jawab Sutoyo.
"Aku tidak senang dengan orangtuamu!" bentak istri Sutoyo.
Sutoyo hanya terdiam. Ia enggan bertengkar dengan istrinya. Tapi, kebenaran dari perasaan istrinya juga sah. Wajar kalau perempuan itu sakit hati menurutnya. Memang, menjadi tua dapat begitu menyebalkan di mata anak ketika ingin ikut campur urusan anak.
"Bukan hanya itu saja, kau ingat waktu Bandiyo itu datang sore hari di rumah ? Pamong masyarakat pembawa petaka dia!" lanjut perempuan itu.
"Ada apa emangnya ? Aku tidak mengerti yang kau maksudkan. Kau sendiri tidak menceritakannya padaku," jawab Sutoyo.
"Memangnya kapan kau mendengarkan aku ? Kerjamu tidak jelas. Pagi, siang, sore, bahkan malam hari hanya mengurusi burung. Kau harusnya bekerja ! Dasar pengangguran," kejujuran perkataan istri Sutoyo tentu jika didengarkan oleh laki-laki lain, bisa memicu tamparan atau kekerasan. Tapi, tidak dengan Sutoyo. Ia hanya tersenyum, seperti ada rasa sakit yang ditahannya.
***
Sebagai desa yang punya potensi wisata, desa tempat tinggal Mbah Darto juga tidak mau kalah berlomba-lomba menjadi desa wisata. Makanya, sore itu, Bandiyo datang memberikan undangan untuk Mbah Darto supaya mau memimpin malam tirakatan merti dusun. Sebagai pamong masyarakat dengan sebutan Pak RT, dia tahu betul siapa saja yang bisa terlibat untuk mengembangkan desa wisata. Tidak jarang, karena gengsi desa wisata sampai mengada-ada hal yang sebenarnya tidak ada. Seolah, semua desa itu harus menjadi wisata. Padahal, desa mereka wisatanya alam berupa sawah dan tentu kesederhanaan hidup orang desa yang indah dilihat mata. Tapi, tidak untuk dihidupi beberapa tahun.
"Mbah Darto, selamat sore. Sedang sibuk apa ini ? Wah, tanamannya bagus-bagus," sapa Bandiyo, bahkan sebelum turun dari sepeda klasiknya.
"Ya begini, pekerjaan pensiunan. Merawat tanaman dan merawat diri sendiri. Ada apa Pak RT ?" ucap Mbah Darto.
"Sebentar, tak rapikan dulu. Silakan duduk dulu, tidak terburu-buru to ini ?" lanjut Mbah Darto.
"Santai saja, Mbah. Saya tunggu sambi lihat-lihat tanaman ya,"
Mbah Darto langsung berkemas. Sore hari memang menjadi kebiasaan untuk merawat tanaman. Ketika ia merapikan gunting rumput, matanya melirik pada pintu ruang tamu. Kemana istri Sutoyo ? Kenapa tidak keluar dan berjabat tangan dengan Pak RT ? Bukannya kalau ada tamu harus disambut, apalagi ini pamong masyarakat. Kok, perempuan itu tidak nampak.
"Ada apa Pak RT ? Maaf berantakan sekali rumahnya," kata Mbah Darso.
"Sehat to, Mbah. Saya senang kalau Mbah Darto dalam keadaan sehat. Ini Mbah, soal merti dusun dan rencana kirab budaya," Bandiyo mulai bercerita.
Sudah hampir satu jam, Bandiyo bercakap-cakap dengan Mbah Darso tanpa ada minuman yang menemani. Beberapa kali, Mbah Darso batuk-batuk supaya istri Sutoyo peka. Tapi, tetap saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan.
Setelah Bandiyo pergi, tak lama kemudian nampak Sutoyo membawa kurungan burung. Ia mengambil helm, lalu kembali pergi lagi.
"Kau ini bagaimana ? Jadi perempuan tidak tahu diri. Masa Bandiyo yang datang ke rumah malah tidak kau berikan minum. Kau tidak tahu ? Kalau dia pamong masyarakat yang harus dihormati ? Kedatangan pamong masyarakat seharusnya kau sambut. Setidaknya, itu menunjukkan penghormatanmu!" bentak Mbah Darso pada istri Sutoyo.
"Tapi, Mbah.." ucap istri Sutoyo terbata-bata. Belum sempat ia melanjutkan berbicara, Mbah Darso sudah membanting gelas di samping meja makan.
"Cuma muncul dan membuatkan minum saja tidak kamu lakukan. Kamu disini meski menantu, tapi tetap saja saya anggap menumpang!" teriak Mbah Darso.
Istri Sutoyo hanya terdiam, pipinya mulai basah. Perempuan itu menangis, tanpa tahu maksud kedatangan pamong masyarakat. Sejak saat itu, ia membenci pamong masyarakat, bukan karena orangnya. Tapi, pada kenapa pamong masyarakat yang harusnya melayani malah berada dalam keharusan dilayani, bahkan posisinya seolah didukung oleh banyak orang ?
                                          Sembuh Kidul, 01 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H