Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedatangan Pamong Masyarakat

1 Januari 2023   21:20 Diperbarui: 1 Januari 2023   21:18 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Akhir tahun hanya tinggal hitungan hari, Mbah Darto pasti memastikan soal jimpitan dan iuran RT pada anaknya. Meski sudah tua, Mbah Darto tidak mau dikasihani, lalu dibebaskan dari kewajiban hidup bermasyarakat. Ia sadar betul, setiap rumah di desa harus mengumpulkan jimpitan dan iuran RT untuk pembangunan. Entah nanti dipakai buat memperhalus jalan atau mengganti lamu penerangan di pertigaan desa.

"Sudah bayar iuran RT sama jimpitan to, Sut ?" tanya Mbah Darto.

Minum obat sore tepat jam lima menjadi keharusannya. Kalau terlambat sebentar saja, nanti penyakitnya kambuh. Itu yang selalu dihindari istri Sutoyo dan anaknya. Mereka takut, Mbah Darto kalau kambuh bisa lumpuh, itu membuatnya marah dan ingat betul secara detail kesalahan orang lain, termasuk anak mantunya.

"Sudah saya bayarkan kemarin siang, Mbah. Kebetulan, saya bertemu dengan Mas Harso yang bertugas," istri Sutoyo menjawab. Ia juga membuatkan kopi kesukaan Mbah Darto dan kudapan yang dibelinya tadi sepulang bekerja.

"Baik kalau begitu, semoga semua baik-baik saja," kata Sutoyo, seolah dia merasakan kalau nanti ada hal tidak beres.

Sutoyo tahu betul keluhan istrinya ketika Mbah Darto marah. Jadi, meski tidak bekerja dan mungkin dianggap gagal oleh masyarakat, termasuk istrinya sendiri. Ia memohon pada istrinya untuk berusaha memberi makan ego Mbah Darto juga. Memang, hubungan antara menantu dan mertua tidak akan baik-baik saja. Tapi, bagi Sutoyo, bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Itu bukan persoalannya, baginya menjadi penting untuk menjaga harmoni dalam keluarga besar. Apalagi, Sutoyo adalah anak semata wayang Mbah Darto.

"Aku lelah hidup dengan Mbah Darto, orangtuamu. Bagaimana kalau kita pindah rumah ? Sewa rumah kecil atau mulai mencicil rumah sederhana ? Nanti, biar anak kita bisa tumbuh dengan pola didik yang sehat. Kau tahu sendiri, orangtuamu orangnya otoriter dan apa saja yang diinginkan harus dituruti. Bayangkan, kalau anak kita tiap hari bertemu dengan orang seperti itu," keluh istri Sutoyo pada suatu malam.

"Tidak bisa. Bagaimana mau pindah ? Nanti siapa yang merawat Mbah Darto. Kau juga tahu, kalau orangtuaku harus rutin ke dokter. Minum obat tidak boleh terlambat. Lagian, anak itu bukan milik kita, tapi hanya titipan dari Tuhan bukan ?" jawab Sutoyo.

"Aku tidak senang dengan orangtuamu!" bentak istri Sutoyo.

Sutoyo hanya terdiam. Ia enggan bertengkar dengan istrinya. Tapi, kebenaran dari perasaan istrinya juga sah. Wajar kalau perempuan itu sakit hati menurutnya. Memang, menjadi tua dapat begitu menyebalkan di mata anak ketika ingin ikut campur urusan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun