Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangku Pertama

23 Desember 2022   13:45 Diperbarui: 23 Desember 2022   13:49 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Ketika sampai di depan pintu kelas 9 D, mereka berebut masuk. Pintu yang hanya terbuka satu itu tidak muat untuk masuk dua anak sekaligus, apalagi badan Sarijo cukup besar dan membawa termos es. Mereka berdesakan, hingga akhirnya Sarijo mengalah, tapi Aziz malah terdorong masuk ke dalam kelas. Ia tersungkur dan terpeleset, kepalanya terantuk bangku yang pertama. Teriak teman-teman kelas mulai terdengar. Anak-anak perempuan terkejut, melihat darah tetes di sekitar bangku yang pertama di kelas itu.

            "Panggil guru saja," kata Roni ketua kelas.

            "Aku takut, ada darah," saut yang lainnya.

            "Kamu ini Sarijo, hati-hati. Jangan asal mendorong saja," seru kawan lain.

            Sejak kejadian itu, pertemanan Aziz dan Sarijo merenggang. Orang tua Aziz tahu kalau anaknya mendapatkan jahitan lima di kepalanya karena berebut masuk kelas dengan Sarijo. Bapaknya menganggap itu bukan masalah, tapi lain dengan Ibunya. Ibunya Aziz melarang untuk bermain dengan Sarijo, pembawa sial katanya.

            "Aku tidak mengerti, semua berlalu begitu saja. Aku juga tidak mendorong Aziz, ia langsung berlari saja," jawab Sarijo ketika ditanya guru.

            "Temanmu jadi sakit ini. Kamu tanggung jawab. Coba kalau kamu yang kepalanya dijahit, memangnya mau ?" Bu Sukarsih yang terkenal galak mulai berbicara.

            "Iya, dasar anak nakal. Makanya, kalau sudah bel masuk itu segera masuk ke kelas. Bukan malah keluyuran," Pak Haryo turut berkomentar.

            "Sudah, ini semua kecelakaan. Kita tidak mau hal seperti ini terjadi. Sekarang, Sarijo kamu minta maaf sama temanmu, Aziz," Pak Kepala Sekolah mencoba menengahi.

            Sarijo melakukan seperti yang diminta Kepala Sekolah. Ia menyesal, tapi di sisi lain tidak mengerti salahnya dimana. Hari berganti hari, Sarijo masih tetap berjualan di kantin kejujuran. Bisa dibilang, kantin itu menolong hidupnya. Ia bisa mendapatkan uang saku dari berjualan, apalagi sejak jualannya itu didukung oleh Aziz. Sebagai anak SMP, tentu membawa makanan di antara teman-temannya akan merasa malu, bahkan minder.

            "Wah, jualannya laris. Untung banyak pasti," kata Aziz pada Sarijo yang sedang asyik menghitung uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun