Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sapaan

21 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 21 Desember 2022   22:34 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sapaan

Cerpen Yudha Adi Putra

"Bapak Ibu, selamat malam. Bagaimana kabarnya?" sapa Pak RT pada pertemuan warga di balai desa malam itu. Sapaan itu memecah saat menunggu balai desa. Akhirnya, acara dimulai setelah semua warga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang merokok. Membaca koran. Anak-anak asyik bermain HP. Suara jangkrik juga tak kalah nyaring terdengar.

                "Selamat malam, Pak" semua menjawab. Pemuda dan anak-anak nampak bersemangat.

                Dalam benak Kris, ada yang tidak nyaman. Dia merasa tidak adil dalam ucapan Pak RT. Bukan karena Pak RT terlambat datang dan sudah membuat warga menunggu. Tapi, pada sapaan Pak RT pada warga.

                "Memang sudah begitu biasanya. Lagian, apa masalahnya. Semua bisa tersapa. Hanya sapaan juga," jawab Rani ketika Kris bercerita soal sapaan Pak RT.

                "Bukan hanya itu. Kalau sapaan juga tidak penting. Penting makanannya apa dan pembagian BLT kapan tiba ?" Yayan turut menyampaikan pendapatnya.

                "Yayan. Kamu ini kalau soal bantuan selalu tanya kapan. Kalau kerja bakti, malah dimana kamu ?" Rani juga menimpali.

                "Maklum. Ada kabar soalnya, setiap desa itu dapat dana desa. Kenapa desa kita tidak ada apa-apa ? Siapa tahu kumpulan kemarin mau bagi-bagi uang," kata Yoel turut bergabung obrolan mereka.

                Kris tetap merasa resah. Ada yang salah dalam ucapan Pak RT. Tapi, ketika bercerita ke temannya. Semua malah menganggap ia yang bermasalah. Hal sederhana saja diperhatikan.

                Hingga suatu ketika, Kris harus bertemu dengan Pak Rudi. Dalam seminggu ke depan, akan ada kegiatan desa di balai. Jadi, semua warga diharapkan terlibat. Soalnya, itu menjadi persiapan untuk proses kirab budaya. Pak Rudi menjadi ketua panitia kegiatan tersebut.

                "Selamat malam, Mbak. Ini saya Kris. Saya mau bertemu dengan Pak Rudi. Apakah Pak Rudinya ada?" kata Kris ketika bertemu dengan perempuan separuh baya. Perempuan itu nampak membawa pengepel lantai. Kris mengira itu adalah pembantunya Pak Rudi.

                "Mari, Mas. Tapi, Pak Rudinya belum pulang. Itu ada Bu Rudi di dalam," jelas perempuan itu.

                "Bu Rudi itu siapa?" jawab Kris dengan polosnya

                "Istrinya Pak Rudi,"

                Kris hanya terdiam. Ia merasa tidak nyaman lagi. Kenapa disebutkan Bu Rudi. Apa benar, namanya Rudi. Tak lama kemudian, perempuan paruh baya dengan kacamata keluar dari pintu depan.

                "Ada apa? Mas ini siapa?" kata perempuan itu. Ia yang disebutkan bernama Bu Rudi.

                "Saya Kris, Bu. Ibu ini siapa?"jawab Kris.

                "Saya Bu Rudi. Ada keperluan apa ya Mas?" jawab perempuan itu dengan bangga. Kalau bisa menyebut namanya Bu Rudi.

                Kris membawa permenungannya sendirian. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa sapaan pertama harus Bapak? Kenapa perempuan lebih bangga dipanggil dengan nama suaminya?

                "Itu budaya, Mas. Laki-laki itu pemimpin dan utama. Jadi harus disebutkan awal. Lalu, laki-laki harus bisa menjaga nama baik. Sehingga nama istrinya akan turut menjadi baik juga. Semacam kepatutan," jelas Pak RT ketika suatu malam Kris menceritakan kegalauannya.

                "Tapi itu penindasan, Pak. Ada relasi kuasa dalam sapaan itu?" jawab Kris.

                "Apanya yang ditindas ? Bukankah semua sudah ada aturannya ? Semua sudah menjadi kebiasaan sejak lama," Pak RT tak mau kalah.

                "Memangnya semua laki-laki itu bisa memimpin ? Memangnya hanya laki-laki yang punya nama baik ?. Kita butuh pemimpin, bukan laki-laki,"

                "Itu harapan. Laki-laki yang baik seperti itu. Ada gambaran idealnya," jawab Pak RT.

                "Hanya laki-laki yang boleh diharapkan ? Apa yang diharapkan dari kemalasan mereka dan berlindung dalam budaya. Laki-laki itu gagal!" Kris mulai mengeluarkan unek-uneknya.

                "Kalau yang dibiasakan itu berhasil. Sudah tidak ada lagi warga kita yang ditindas. Apa perempuan hanya bahagia dalam kepatuhan semu itu ? Tidak. Romantisnya budaya membuat perempuan lemah. Kasur, dapur, sumur ? Semua diatur oleh laki-laki. Cara berpakaian. Jam pulang malam hingga ucapan. Memangnya laki-laki itu Tuhan ?" lanjut Kris.

                Kebenaran ucapan Kris tidak dapat dipungkiri. Perlahan Pak RT meminum kopinya. Ia bingung mau menjawab apa. Satu hal yang muncul dibenaknya, kenapa Kris menjadi begitu marah.

                "Lihat saja, dari bangun pagi sampai tidur lagi. Pekerjaa siapa yang paling banyak ?" bentak Kris.

                "Hanya apresiasi sapaan saja rumit. Belum soal yang lain. Laki-laki itu gagal," kata Kris sambil meninggalkan Pak RT tanpa pamitan.

***

                "Ibu Bapak, selamat pagi. Mari kita mulai kerja bakti di pagi hari ini. Silakan ibu-ibu kalau ada yang mau disampaikan," ucap Pak RT sambil menatap ibu-ibu yang sibuk menyiapkan makanan untuk bapak-bapak.

                "Kami perlu bantuan," kata seorang perempuan paruh baya.

Sumbergamol, 21 Desember 2022

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun