"Selamat malam, Mbak. Ini saya Kris. Saya mau bertemu dengan Pak Rudi. Apakah Pak Rudinya ada?" kata Kris ketika bertemu dengan perempuan separuh baya. Perempuan itu nampak membawa pengepel lantai. Kris mengira itu adalah pembantunya Pak Rudi.
        "Mari, Mas. Tapi, Pak Rudinya belum pulang. Itu ada Bu Rudi di dalam," jelas perempuan itu.
        "Bu Rudi itu siapa?" jawab Kris dengan polosnya
        "Istrinya Pak Rudi,"
        Kris hanya terdiam. Ia merasa tidak nyaman lagi. Kenapa disebutkan Bu Rudi. Apa benar, namanya Rudi. Tak lama kemudian, perempuan paruh baya dengan kacamata keluar dari pintu depan.
        "Ada apa? Mas ini siapa?" kata perempuan itu. Ia yang disebutkan bernama Bu Rudi.
        "Saya Kris, Bu. Ibu ini siapa?"jawab Kris.
        "Saya Bu Rudi. Ada keperluan apa ya Mas?" jawab perempuan itu dengan bangga. Kalau bisa menyebut namanya Bu Rudi.
        Kris membawa permenungannya sendirian. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa sapaan pertama harus Bapak? Kenapa perempuan lebih bangga dipanggil dengan nama suaminya?
        "Itu budaya, Mas. Laki-laki itu pemimpin dan utama. Jadi harus disebutkan awal. Lalu, laki-laki harus bisa menjaga nama baik. Sehingga nama istrinya akan turut menjadi baik juga. Semacam kepatutan," jelas Pak RT ketika suatu malam Kris menceritakan kegalauannya.
        "Tapi itu penindasan, Pak. Ada relasi kuasa dalam sapaan itu?" jawab Kris.