Terkait obat panu, Heri sudah membeli di apotek juga, tapi panunya tak kunjung sembuh. Itu yang membuat dia selalu pakai baju lengan panjang.
"Wah, hati-hatim, Mas. Kalau beli obat di pinggir jalan itu penipuan. Bisa malah kena penyakit aneh-aneh. Mending beli saja di apotek, Mas" saran istrinya, ketika dulu Heri berniat beli obat di pinggir jalan.
"Saya coba dulu boleh tidak, Pak," kata seorang lelaki tua yang juga mendekati pedagang obat itu.
"Silakan, Pak. Saya bantu, sebelah mana yang mau diobati?" tanya pedagang itu dengan ramah.
Tidak ada yang mencurigakan, tapi sebagai penjual obat, penampilan pedagang itu sungguh kurang meyakinkan. Wajahnya menyeramkan, pipi kanan ada bekas luka, dan alisnya sobek beserta luka gores. Sorot matanya menakutkan, kalau diam dingin, tapi ramah. Kalau saja dia tidak berteriak-teriak menawarkan obat, pedagang itu nampak misterius.
Pedagang obat itu juga memakai pernak-pernik ikat kepala, kalung dengan bandul batu merah, telinga kirinya ada anting berbandul salib namun patah, serta ketiga jari kanannya terpasang cicin akik beragam warna. Untuk meyakinkan pembeli, ia memasang foto-foto hasil pengobatan dengan obat yang dijualnya. Entah didapat dari mana, awalnya Heri mengira itu dari internet.
"Obat ini ada doanya, jadi selain menyembuhkan penyakit kulit. Obat yang saya jual ini bisa menjadikan hidup tentram. Ada restu dari Tuhan. Sudah banyak yang membuktikan manfaatnya," jelas pedagang itu ketika Heri juga bertanya.
"Saya beli dua kalau begitu. Satu untuk saya dan satunya lagi untuk kawan saya," Heri mulai mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.
 "Duapuluh ribu tiga. Semua penyakit tuntas hidup tentram dari Tuhan. Mari silakan" kata pedagang itu.
"Saya mau beli dua saja,"
"Harus tiga, kalau tidak nanti khasiatnya berbeda. Malah bisa jadi petaka," kata pedagang itu dengan sorot mata dingin.