"Terima saja, Mas. Besok kita proses untuk ke Purbalingga. Untuk biaya hidup sudah terjamin. Ada rumah yang bisa Mas Yudha tempati. Mobil dan motor sebagai kendaraan sehari-hari dan cuti setahun 12 kali, Mas. Lihat, Mas. Teman-teman sudah pada jadi pendeta, kenapa Mas Yudha tidak mau ?"
        Pesan itu dikirimkan sebagai penutup percakapan mereka dan tidak dibalas oleh Yudha. Setidaknya, setelah lulus ada 4 gereja menawari Yudha untuk jadi pendeta. Tapi, semua ditolaknya dengan halus. Meski dengan iming-iming pelayanan dan biaya hidup yang tinggi, Yudha tetap tidak tergoda. Padahal, Yudha ketika mahasiswa merupakan mahasiswa berprestasi, IPKnya tinggi, dia juga punya pengalaman ketua BEM, ikut berbagai kegiatan seperti duta bahasa, dan banyak kejuaraan menulis.
        "Saya pasti kalau bekerjanya menulis. Sayangnya pendeta perlu bertemu banyak orang. Saya mudah capek dan sakit-sakitan, takutnya malah merepotkan,"ujarnya ketika ditanya kenapa tidak mau jadi pendeta.
        Ia selalu menimbang banyak persoalan. "Ada banyak hal yang harus saya pikirkan, tidak hanya soal jabatan, status sosial, dan gaji menjadi pendeta. Ada panggilan hidup bernilai sudah lama saya perjuangkan. Ini juga soal ibu saya. Saya mau menemaninya di masa tua dan saya mencintai menulis dengan suasana damai tanpa tuntutan,"
        Yudha tentu ingin hidup layak dan menyekolahkan adiknya, Bara sampai perguruan tinggi. Namun, panggilan hidup sebagai seorang penulis cerita pendek lebih utama menurutnya. Baginya, pekerjaan menjelma dalam panggilan untuk terus menulis dan hiburannya dalam hidup adalah dengan membaca. Dua hal itu yang tidak mau ditinggalkannya.
***
        Hari sudah malam, Bara ketiduran di depan kamar Yudha. Ia menunggu janji dibelikan HP oleh kakaknya itu. Bara adalah anak kelas 9 SMP, sebentar lagi dia akan lulus dan ingin sekolah di SMK. Tentu biayanya tidak sedikit, sekarang ia ingin sekali HP. Hpnya butut hanya bisa untuk menelpon, padahal semua temannya sudah pakai HP android.
        "Permisi. Selamat malam," terdengar suara orang mengetuk rumah mungil mereka. Ketukan pintu itu membangunkan Bara dan membuat Yudha keluar dari kamarnya.
        "Apa benar ini rumah Mas Yudha?"
        "Iya, benar."
        "Ini ada kiriman, Mas." ujar kurir itu, lalu pergi meninggalkan mereka.