Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpenis

9 Desember 2022   14:40 Diperbarui: 9 Desember 2022   14:51 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpenis

Cerpen Yudha Adi Putra

                Setiap pekerjaan punya masalah dan kejutan. Maka daya tahan untuk terus bekerja dan belajar perlu kuat. Setiap perjumpaan bisa memberikan kekuatan. Entah bagaimana semesta bekerja, tapi akan ada saja jalan bagi siapa yang mau berusaha. Setidaknya, untuk  menghindari kecewa.

                "Mas, aku ingin beli HP baru. HP teman-temanku bisa untuk mengerjakan tugas. Punyaku hanya bisa untuk menghubungi Ibu ketika hendak menjemput sekolah," keluh Bara, adik kesayangannya Yudha.

                Yudha sedang asyik menulis cerpen jadi terkejut. Suara Bara mendekat, ada permintaan yang harus didengarkan.

                "Mas Yudha selesaikan menulis dulu ya," ujarnya. Ia kemudian melanjutkan mengetik dan membiarkan Bara menunggu di depan kamar.

***

                Saat asyik menulis, ada pesan masuk di HP Yudha. Pesan dari nomor yang dicatatnya sejak lama, bahkan namanya diberi tanda paku.

                "Mas. Untuk pengumpulan cerpen tinggal nanti malam ya. Tolong segera dikirimkan supaya bisa kami baca dan memberikan komentar." Isi pesan itu dibaca oleh Yudha.

                "Baik, Mas. Ini sedang saya kerjakan. Sebelum jam 3 sore saya kirimkan ya, Mas." Yudha segera membalas. Hpnya dimantikan, ia fokus menulis.

                Lembar demi lembar sudah dikerjakannya, hingga pada halaman terakhir, Yudha teringat tawaran seorang majelis kemarin malam. Soal tawaran untuk menjadi seorang pendeta di sebuah gereja daerah Purbalingga.

                "Terima saja, Mas. Besok kita proses untuk ke Purbalingga. Untuk biaya hidup sudah terjamin. Ada rumah yang bisa Mas Yudha tempati. Mobil dan motor sebagai kendaraan sehari-hari dan cuti setahun 12 kali, Mas. Lihat, Mas. Teman-teman sudah pada jadi pendeta, kenapa Mas Yudha tidak mau ?"

                Pesan itu dikirimkan sebagai penutup percakapan mereka dan tidak dibalas oleh Yudha. Setidaknya, setelah lulus ada 4 gereja menawari Yudha untuk jadi pendeta. Tapi, semua ditolaknya dengan halus. Meski dengan iming-iming pelayanan dan biaya hidup yang tinggi, Yudha tetap tidak tergoda. Padahal, Yudha ketika mahasiswa merupakan mahasiswa berprestasi, IPKnya tinggi, dia juga punya pengalaman ketua BEM, ikut berbagai kegiatan seperti duta bahasa, dan banyak kejuaraan menulis.

                "Saya pasti kalau bekerjanya menulis. Sayangnya pendeta perlu bertemu banyak orang. Saya mudah capek dan sakit-sakitan, takutnya malah merepotkan,"ujarnya ketika ditanya kenapa tidak mau jadi pendeta.

                Ia selalu menimbang banyak persoalan. "Ada banyak hal yang harus saya pikirkan, tidak hanya soal jabatan, status sosial, dan gaji menjadi pendeta. Ada panggilan hidup bernilai sudah lama saya perjuangkan. Ini juga soal ibu saya. Saya mau menemaninya di masa tua dan saya mencintai menulis dengan suasana damai tanpa tuntutan,"

                Yudha tentu ingin hidup layak dan menyekolahkan adiknya, Bara sampai perguruan tinggi. Namun, panggilan hidup sebagai seorang penulis cerita pendek lebih utama menurutnya. Baginya, pekerjaan menjelma dalam panggilan untuk terus menulis dan hiburannya dalam hidup adalah dengan membaca. Dua hal itu yang tidak mau ditinggalkannya.

***

                Hari sudah malam, Bara ketiduran di depan kamar Yudha. Ia menunggu janji dibelikan HP oleh kakaknya itu. Bara adalah anak kelas 9 SMP, sebentar lagi dia akan lulus dan ingin sekolah di SMK. Tentu biayanya tidak sedikit, sekarang ia ingin sekali HP. Hpnya butut hanya bisa untuk menelpon, padahal semua temannya sudah pakai HP android.

                "Permisi. Selamat malam," terdengar suara orang mengetuk rumah mungil mereka. Ketukan pintu itu membangunkan Bara dan membuat Yudha keluar dari kamarnya.

                "Apa benar ini rumah Mas Yudha?"

                "Iya, benar."

                "Ini ada kiriman, Mas." ujar kurir itu, lalu pergi meninggalkan mereka.

                "Paket apa itu, Mas?"

                "Ada HP dan tulisan, teruslah menulis. Penulis tidak pernah mati," ucap Yudha sambil memeluk Bara. Mereka menangis bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun