Guru sebagai Pahlawan
Mendidik Tanpa Harus Hadir
"Sebab penulis tidak pernah mati, karyanya abadi. Mendidik tanpa harus hadir. Mungkin tubuhnya mati, tapi caranya mendidik menjelma jadi apa saja. Bahkan, lebih dari itu, ia menjadi guru. Penulis menjadi pahlawan. Penulis tidak bisa mati, ia sebagai guru yang memberi banyak ilmu."
           Â
Kekasihku tiba-tiba berkeinginan untuk menjadi penulis, mungkin guru, tapi ia tidak senang berada di keramaian. Tentu saja aku kaget dan sahabatku menyarankan untuk menyudahi hubungan kami. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang penulis. Karena itu, sebelum terlalu jauh, aku diperingati supaya mengajak berbicara kekasihku.
"Sayang, aku dengar cerpenmu terbit di koran lokal minggu ini. Apakah benar, dirimu ingin menekuni dunia menulis, lebih lagi menjadi seorang guru bahasa ? Begitukah ?" Yudha mengangguk tanpa memperhatikanku.
"Benar sayang, aku ingin memantapkan diri menjadi penulis dan guru." Aku kaget, seketika tas berisi make up aku jatuhkan.
"Gila, masa kamu mau jadi guru dan penulis ?"
"Tentu, sayang. Aku mau."
Aku keheranan. Itu pertanda buruk. Aku sudah berjuang untuk menjadi seorang model dan tidak percaya apa yang dikatakan oleh kekasihku. Apalagi ketika aku menatap sorot matanya tajam-tajam, mata Yudha tenang dan teduh. Seolah tidak mengatakan hal yang salah dihadapanku. Ia mungkin tidak mengerti kepastian apa yang baru saja dikatakannya. Tentu aku menjadi panik. Aku tidak mau hidup dengan penulis atau guru atau apapun itu yang tidak jelas. Aku juga tahu masa depan seorang guru dan penulis. Mereka menggantungkan hidupnya dari kata, dari cerita yang dimuat di media. Karena itu, aku begitu sayang padanya, aku berusaha menyadarkan akan impiannya itu.
"Sayang, dengar baik-baik. Aku hanya ingin bertemu kami di antara sibuknya jadwalku pemotretan ini. Setelah ini nanti terserah kamu ! Menjadi penulis dan guru itu bukan impian. Itu cuma keromantisan usang yang sudah tidak sesuai dengan digitalisasi sekarang. Kita hidup di era digital sayang. Semua berkembang dan perjumpaan menjadi tidak terbatas. Saat ini, sudah tidak ada orang mau jadi penulis dan guru seperti dirimu. Kalau ada, mungkin mereka gagal dan terpaksa oleh keadaan. Mereka jadi guru supaya bisa kerja saja, asal tidak dihina tetangga di desa. Kau paham kan sayang ? Setiap ada kesempatan untuk mendapatkan yang lebih, tentu akan diambil untuk lebih kaya lagi. Kamu kenapa mau menulis dan mengajar ? Kamu mau miskin ? Kesehatan di hari tua sebagai penulis tidak jelas. Kamu hebat lho sayang, kenapa hanya mau jadi penulis. Ayolah, jangan memilih masa depan orang putus asa seperti itu."
"Iya. Aku ingin menjadi penulis dan mengajarkan menulis itu."
"Mengapa seperti itu ? Kamu keras kepala sekali ! Apa tidak ada pilihan lain ? Atau apa ? Kamu tahu, hidup sebagai penulis itu seperti apa ? Jadi guru itu seperti apa ? Apa hidupnya jelas ? Tidak. Mereka cuma merokok dari kedai ke kedai. Menaiki motor butut yang kalau dijual belum tentu laku. Hidupnya menderita dengan banyak tangisan karena tidak ada uang. Tuntutannya banyak dan tidak ada yang bisa ditebak, tapi uang dari menulis tidak banyak. Tidak ada uang dari mengajar, bisa saja malah rugi untuk beli bahan ajar. Lihat, apa ada penulis hidupnya bahagia ? Mereka mati muda menderita ? Kamu mau seperti itu ? Atau guru ? Guru mana yang kaya ? Mereka gajinya tidak seberapa. Rumahnya tidak jelas, bergelantungan burung dan ada di desa. Mungkin mereka kaya, tapi bukan dari mengajar atau menulis. Karena pekerjaan menulis itu spekulatif, tidak bisa ditebak. Itu aneh sekali. Masa kamu mau jadi seperti itu ? Penulis itu menderita, ia miskin. Coba lihat, penulis mana yang hidupnya mewah. Itu hanya bualan saja, buku terjual banyak, itu permainan saja. Guru juga tidak ada yang seperti itu. Tidak ada penulis yang tidur nyenyak, mereka gelisah. Banyak waktu malam dipakai menulis. Itu tidak sehat. Coba kamu pikirkan lagi, aku tidak mau kamu jadi penulis atau guru atau apa lagi yang miskin-miskin itu !"
"Sudah saya pastikan, saya akan menulis dan mengajarkan tulisan saya."
Aku terkejut, belum pernah Yudha menjawab dengan santai seperti itu.
"Pikirkan sekali lagi sayang, aku mohon. Aku kasih waktu, sebelum kita lanjut ke jenjang yang lebih serius. Kita akan menikah tahun depan."
"Pikiranku akan tetap sama. Saya mau jadi penulis dan guru."
"Tidak, dipikirkan dulu sayang. Aku ada jadwal pemotretan. Aku pergi dulu ya, sampai jumpa beberapa hari lagi. Aku mohon."
Aku memilih meninggalkan Yudha. Tas yang kujatuhkan sudah ditata kembali oleh Yudha. Aku mengeluh sepanjang jalan. Bagaimana masa depanku nanti. Yang aku jadikan tempat mengeluh adalah Rakel. Menurut dia, aku sudah salah memilih orang untuk dicintai dan tidak membicarakan soal impian dari awal pacaran, sehingga Yudha jadi pendek berpikirannya.
***
"Kamu mungkin tidak memperhatikan pergaulannya, makanya dia jadi liar. Masa mau menulis dan mengajar. Itu memiskinkan diri sendiri !"
Aku memilih diam saja. Teman dan sahabat mulai banyak berkomentar. Nasib di pergaulan serba gengsi memang begitu. Ada banyak komentar, bahkan soal hidup dan pilihan pribadi.
Waktu terus berjalan, setelah banyak kesempatan terlewatkan. Aku tidak menemuni Yudha. Harapanku hanya satu, semoga ia berhenti mimpi jadi penulis atau guru. Tetapi, dua bulan berlalu dan akhirnya kami bertemu kembali. Aku membawakan buku untuk Yudha.
Yudha terlihat tenang sekali. Itu membuat aku sedih ketika bertemu dengannya. Pertanyaan tetap sama, apakah dia berhasil berhenti untuk menulis atau mimpi jadi guru.
"Sudah aku putuskan, aku akan menulis dan mengajar. Kenapa ditanya lagi ?" katanya sambil lalu saja. Seolah tidak ada yang salah dengan jawabannya.
Sekarang aku jadi marah. Aku tidak tahu lagi memperjuangkan masa depan seperti apa dengannya.
"Yudha ! Kamu mau jadi penulis pasti karena bacaan-bacaan anehmu itu ya !" aku berteriak sambil menuding wajahnya.
"Mentang-mentang menulis buku, kalau guru dibilang pahlawan, guru memberi pendidikan. Itu semua kebohongan. Sekarang semua bisa bebas belajar, tidak perlu dengan guru. Apa kamu tidak mengerti perkembangan, semua bisa mendapatkan informasi tanpa harus menulis. Bahkan, informasi yang menarik dengan video. Apa kamu tidak tahu itu, Yudha ?"
Yudha tidak menjawab.
"Negara memang berliterasi rendah, tapi tidak pernah menghargai penulis. Negara memang membuat lagu untuk guru, tapi tidak memberi guru makan. Itu penipuan, Yudha. Dipuji dengan banyak kemungkinan, tapi hidupnya tidak diperhatikan. Pujian penulis dan penyair itu hanya setahun sekali, selepasnya mereka miskin dan kelaparan. Padahal, mereka yang menjadi pejabat tidak ada yang ingin anaknya jadi guru atau penulis. Kerja yang banyak uangnya. Tidak seperti itu. Apa kamu mengerti, Yudha ?"
Yudha tetap diam dan sepertinya tidak memiliki keinginan untuk menjawab.
"Kamu tidak akan hidup dari pujian mereka bukan. Pujian karena bukumu atau karena kamu mengajari mereka menulis. Kamu tidak butuh uang ? Apa benar begitu ? Mau makan apa kamu ? Kita hidup perlu makan. Perlu uang, kalau bisa yang banyak. Tentu ya biar mudah kalau memberi, termasuk memberi makan penulis-penulis itu. Supaya mereka kenyang dan diam. Apa kamu mau seperti itu, diberi makan hanya karena kasihan ? Buat apa kamu bekerja untuk hal seperti itu, apa indahnya menjadi penulis ? Apa untungnya menjadi guru ? Tidak ada, Yudha ! Berhentilah membuat kesalahan, kita punya masa depan yang indah, tidak seperti ini!"
Yudha mulai mengangguk, mungkin ia setuju dengan ungkapanku. Tapi, apa yang dikatakannya menyakitkanku.
"Aku mengerti. Lalu, ada apa yang salah dengan aku menjadi penulis. Apa yang salah dengan aku mengajar ?"
Aku terdiam. Menangis, keras kepala sekali Yudha. Akhirnya, aku memilih pergi lagi. Mungkin ini menjadi waktu untuk membuat Yudha sadar, aku akan menghilang dari hidupnya. Aku lelah mendengarkan ungkapannya soal guru, soal penulis. Tidak ada gunanya.
***
Tiga bulan kami tidak saling komunikasi. Tapi Yudha juga tida menghubungi aku. Aku jadi bingung dan cemas. Akhirnya, dengan membatalkan banyak janji pertemuan di hari Minggu. Sekali ini aku datang dengan penuh harapan. Mungkin Yudha ingin aku memohon, tapi aku tidak mengerti dengan semua ini. Tapikan aku harus berusaha ketika punya keinginan, dengan bonus doa, kalau memang Yudha bisa berubah, jangankan permohonan. Aku mau melakukan segalanya, asal dia tidak menjadi penulis atau guru dengan pekerjaan miskinnya itu. Aku mau kami kaya, tidak kesulitan uang di kemudian hari.
"Bagaimana sayang, kamu sudah berubah pikiran?"
"Aku mau terus belajar jadi guru dan menulis,"
"Kalau kamu masih mau jadi penulis dan guru, aku akan segera membunuhmu,"
"Apa ? Membunuhku ? Membuat aku mati ?"
"Aku sudah yakin dengan pilihanku. Aku akan membunuhmu sekarang juga kalau kamu masih mau jadi guru dan penulis,"
"Kamu tidak bisa membunuhku, aku tidak bisa mati,"
"Tidak bisa ? Jangan gila kamu, semua bisa mati, bahkan kamu akan mati sekarang juga,"
"Aku tidak bisa mati, bahkan untuk saat ini."
"Kenapa ?"
"Sebab penulis tidak pernah mati, karyanya abadi. Mendidik tanpa harus hadir. Mungkin tubuhnya mati, tapi caranya mendidik menjelma jadi apa saja. Bahkan, lebih dari itu, ia menjadi guru. Penulis menjadi pahlawan. Penulis tidak bisa mati, ia sebagai guru yang memberi banyak ilmu."
Aku tercengang. Aku tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut kekasihku.
"Jadi itu yang meracuni pikiranmu, alasanmu mau jadi guru ? Alasanmu terus menulis seperti itu ?"
"Ya! Itu sebabnya saya mau jadi penulis, saya mau jadi guru untuk mengajarkan supaya semua orang tidak bisa mati. Saya juga tidak mau mati,"
Aku bingung. Belum pernah aku dijawab seperti itu. Aku jadi gugup.
"Aneh!" kata saya kelepasan.
"Siapa yang membuatmu seperti itu, gadis penyair itu ? Siapa yang mendoktrinasi kamu ? Kamu mau seperti mereka yang tidak jelas itu ?"
Yudha memandang wajahku dengan tajam. Matanya meyakinkan, jujur, dan penuh perhatian.
"Siapa Yudh ? Jawab !"
Yudha menunjuk diriku.
"Kau sendiri sayang, aku mau abadi bersamamu. Aku mau menjadi pahlawan ilmu untuk semua orang yang mau belajar. Aku mau kisahmu dikenang dan dibaca banyak orang. Aku tidak ingin kamu mati dan hilang tanpa jejak,"
Aku kagum. Guru sebagai pahlawan dan Yudha ingin seperti itu, mengabadikan hidup dengan menulis.
Â
Â
Â
Bionarasi
Yudha Adi Putra merupakan pemelihara burung prenjak. Kesenangannya pada burung memberikan motivasi untuk terus menulis. Ada banyak esai, puisi, dan cerpen yang ditulisnya. Kebanyakan membahas burung dan keresahan sosial. Lahir di Sleman, 24 November 1999. Saat ini, dalam perjuangan untuk studi di Fakultas Teologi UKDW. Menjadi dosen dan menulis merupakan impiannya, tentu bersama burung prenjak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H