Waktu terus berjalan, setelah banyak kesempatan terlewatkan. Aku tidak menemuni Yudha. Harapanku hanya satu, semoga ia berhenti mimpi jadi penulis atau guru. Tetapi, dua bulan berlalu dan akhirnya kami bertemu kembali. Aku membawakan buku untuk Yudha.
Yudha terlihat tenang sekali. Itu membuat aku sedih ketika bertemu dengannya. Pertanyaan tetap sama, apakah dia berhasil berhenti untuk menulis atau mimpi jadi guru.
"Sudah aku putuskan, aku akan menulis dan mengajar. Kenapa ditanya lagi ?" katanya sambil lalu saja. Seolah tidak ada yang salah dengan jawabannya.
Sekarang aku jadi marah. Aku tidak tahu lagi memperjuangkan masa depan seperti apa dengannya.
"Yudha ! Kamu mau jadi penulis pasti karena bacaan-bacaan anehmu itu ya !" aku berteriak sambil menuding wajahnya.
"Mentang-mentang menulis buku, kalau guru dibilang pahlawan, guru memberi pendidikan. Itu semua kebohongan. Sekarang semua bisa bebas belajar, tidak perlu dengan guru. Apa kamu tidak mengerti perkembangan, semua bisa mendapatkan informasi tanpa harus menulis. Bahkan, informasi yang menarik dengan video. Apa kamu tidak tahu itu, Yudha ?"
Yudha tidak menjawab.
"Negara memang berliterasi rendah, tapi tidak pernah menghargai penulis. Negara memang membuat lagu untuk guru, tapi tidak memberi guru makan. Itu penipuan, Yudha. Dipuji dengan banyak kemungkinan, tapi hidupnya tidak diperhatikan. Pujian penulis dan penyair itu hanya setahun sekali, selepasnya mereka miskin dan kelaparan. Padahal, mereka yang menjadi pejabat tidak ada yang ingin anaknya jadi guru atau penulis. Kerja yang banyak uangnya. Tidak seperti itu. Apa kamu mengerti, Yudha ?"
Yudha tetap diam dan sepertinya tidak memiliki keinginan untuk menjawab.
"Kamu tidak akan hidup dari pujian mereka bukan. Pujian karena bukumu atau karena kamu mengajari mereka menulis. Kamu tidak butuh uang ? Apa benar begitu ? Mau makan apa kamu ? Kita hidup perlu makan. Perlu uang, kalau bisa yang banyak. Tentu ya biar mudah kalau memberi, termasuk memberi makan penulis-penulis itu. Supaya mereka kenyang dan diam. Apa kamu mau seperti itu, diberi makan hanya karena kasihan ? Buat apa kamu bekerja untuk hal seperti itu, apa indahnya menjadi penulis ? Apa untungnya menjadi guru ? Tidak ada, Yudha ! Berhentilah membuat kesalahan, kita punya masa depan yang indah, tidak seperti ini!"
Yudha mulai mengangguk, mungkin ia setuju dengan ungkapanku. Tapi, apa yang dikatakannya menyakitkanku.