[caption id="attachment_148517" align="alignleft" width="192" caption="buletin stanplat"][/caption]-Sebuah tafsir simbolis kebudayaan.
Oleh Faiz Manshur
Suatu malam beberapa orang Parakan ngobrol santai tentang bagaimana memajukan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Temanggung. Seperti biasa, arah obrolan akan sangat bergantung pada sang “provokator”. Kebetulan malam itu, sebut saja namanya Muh Hilal berperan jadi “provokator.” Kepada teman-temannya, bekas politisi yang kini mengelola usaha Radio FM di Parakan ini menggulirkan tesis gaya ndeso. Ia katakan pada teman-temannya, Temanggung itu sulit untuk maju. Pasalnya, ideologi-nya kodok!” ujarnya percaya diri.
Teman-temannya tentu saja terperangah dan sedikit bingung. “Coba perhatikan baik-baik substansi apa yang sesungguhnya tergambar dari dalam logo itu?” tanya Hilal menantang. Semua tak kunjung paham. Hilal lantas menjawab sendiri. “ Itu lambang kodok. Ayo perhatikan lagi,” serunya menantang.
Hilal lantas menjelaskan bahwa warna Api Merah yang paling menonjol yang memang struktur tubuhnya menggemuk dengan kaki (nyala api bagian ujung) menjorok ke depan. Singkat kesimpulan, kodok ini ditafsirkan sebagai binatang yang memang gemar meloncat tetapi tak pernah beranjak dari lingkungan tempatnya berada.
Kodok cermin hidup masyarakat yang takut keluar dari lingkungannya. Kodok percaya bahwa hidupnya telah cukup dan merasa paling hebat atas apa yang dialaminya.
Tafsir anekdot
Ada-ada saja. Sekalipun hanya reka-reka belaka, pandangan itu bukan tanpa alasan. Kita bisa menafsirkan lebih konseptual. Mari kita memakai anekdot berikut ini:
Al-kisah, suatu ketika ada seokor kodok laut yang terbawa air lewat sungai sampai ke sebuah telaga. Di telaga itu ia berkenalan dengan kodok yang lahir dan hidup di telaga, tak pernah kemana-mana.
Kodok telaga bertanya, “kau berasal dari mana kawan?. Aku dari laut, jawab sang kodok laut. Laut itu luasnya seperti apa? Apakah seluas telagaku?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!