Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Jaran(g) Goyang

2 Februari 2019   18:00 Diperbarui: 2 Februari 2019   18:44 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2017 lalu, tepatnya Bulan Desember, lagu 'Jaran Goyang' yang dinyanyikan Nella Kharisma masuk dalam 10 video musik terpopuler di situs Youtube.com. Sampai pada bulan itu, lagu ini ditonton sebanyak 109 juta kali di situs yang sama (lihat: di sini).

Kalau pembaca melihat dan membuka videonya sekarang sudah 181 juta kali ditonton. Angka yang sangat boombastis, bukan?

Baik di kota maupun di desa-desa yang pernah penulis kunjungi dalam beberapa bulan terakhir ini tak kalah diramaikan oleh lagu bermusik dangdut koplo ini. Bahkan ada yang memutarnya berulang-ulang, sepanjang hari.

Mungkin agak terdengar lucu jika prediksi penulis mengena pada tema lagunya yang bersifat mengguna-gunai sehingga semua orang tertarik mendengarkannya.

Memang judul lagunya diambil dari nama salah satu sastra lisan berupa mantra, yakni mantra berjenis pengasihan, yang berkembang di masyarakat Suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Jaran_Goyang).

Penciptanya, Andi Bendol dalam lagu ini, pun telah berhasil memperkenalkan bagaimana guna-guna itu cenderung digunakan di saat putus cinta. Dalam lagu ciptaannya itu, Andi Bendol seperti menceritakan ketidakpuasan subyek dengan apa respon dari obyek.

Ketidakpuasan itu terjadi karena obyek memutuskan ikatan jalinan cinta mereka. Subyek akhirnya mengandalkan bantuan dari luar dirinya, yaitu makhluk halus. Makhluk halus di sini menjadi instrument sekaligus mediator cinta yang tak kelihatan. Makhluk halus di sini seakan menampilkan sosok kliennya sesuai dengan keinginan atau kesukaan target yang dituju.

Meskipun cara kerja makhluk halus di sini tidak kelihatan namun apa tanda-tanda yang terjadi pada obyek selalu dikaitkan dengan kerja dari makhluk halus itu sendiri. Intinya, keyakinan atau kepercayaan dari subyek pada kinerja makhluk halus ini. Alih-alih tidak percaya, meragukan pun tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan. 

Tentu bagi mereka yang mempercayai ikut serta makhluk halus dalam kehidupan manusia ini, punya cara mengenalinya sendiri. Tetapi bagi mereka yang tidak mempercayai, pastilah mereka dalam keragu-raguan atau malah mengecamnya.

Makhluk Halus Ber(kuasa)politik?

Memang sulit menyangkal pemberian arti terhadap setiap kejadian oleh tidak sedikit orang yang mengakui ikut serta makhluk halus dalam perpolitikan kita selama ini. Nils Bubandt dalam bukunya: Demokrasi, Korupsi dan Makhluk Halus dalam politik Indonesia Kontemporer, bahwa dunia politik dan makhluk halus saling terkait, kabur tapi efektif, nyata tapi tidak dapat diprediksi, dan berkuasa tetapi memalukan (Nils Bubandt, 2016: 11-12).

Entah dari mana hulu munculnya bangunan pemikiran mistis ini sehingga masih eksis. Yang pastinya hukum positif di negara kita membenarkan keberadaan dan melarang pelibatan makhluk halus untuk tujuan tidak baik (ilmu hitam).

Terlepas dari benar dan tidaknya keberadaan makhluk halus, yang mampu menarik perhatian konstituen dan/atau menimbulkan pandangan buruk terhadap kontestan (lainnya), kekuasaan makhluk halus telah menjadi pembicaraan menarik oleh tidak sedikit orang. Maka tidak salah kalau penulis memanfaatkan pembicaraan-pembicaraan ini untuk dijadikan dasar penggambaran politik 'jaran goyang' itu sendiri.

Tanda-tanda politik "jaran goyang" masih terdengar dari warga itu sendiri. Banyak yang mengartikan, misalnya, mendadaknya turun hujan saat kampanye sedang dilakukan oleh pasangan kandidat tertentu, adalah kerja keras dari makhluk halus itu sendiri yang diinstrumenisasikan oleh para lawan politik.

Malah ada yang bercerita bagaimana seorang tukang "penahan" hujan membuka awan di atas tempat seorang kandidat tertentu berkampanye. Setelah awan terbuka maka hujan pun turun sangat deras hanya di tempat tertentu saja, tetapi tidak di tempat kandidat itu.

Selain kejadian tersebut di atas, anggapan orang pada umumnya bahwa setiap yang mau mencalonkan diri jadi pejabat harus terlebih dahulu meminta restu dari leluhur. Itulah sebabnya ada banyak paslon (pasangan calon) yang pergi berkunjung ke tempat-tempat pemakaman para nenek moyang mereka, para petinggi negara, atau tokoh-tokoh yang berpengaruh sebelumnya.

Setelah meminta restu dari arwah para nenek moyang atau para petinggi ini diyakini bahwa perjalanan selama kontestasi dan nanti setelah menang dalam restu arwah mereka.

Namun, apakah tanggapan semacam ini dari tidak sedikit orang kita larang? Dan apakah salah bila seseorang memohon ikutserta makhluk halus dalam setiap aktivitasnya? Tentu tidak salah. Sebab gaya berpolitik ini sudah merupakan kearifanlokal kita, terlebih dalam politik perdesaan.

Raja Rum (sekitar 400-500 M) dalam memperluas kerajaannya di Pulau Nusa Kendang (sekarang Pulau Jawa) menggunakan para orang berilmu gaib mengusir makhluk-makhluk mengerikan, dan juga setan jahat yang berada di pulau itu.

Di sana terlihat kekuatan ilmu yang mampu mengusir makhluk-makhluk dan juga setan supaya kerajaan diperluas (Capt. R.P. Suyono: Dunia Mistik Orang Jawa 2009: 21-24).

Politik Jarang Goyang

Alhasil, kita memetik pelajaran dari kisah di atas, bahwa gerakan tubuh politik kita itu sangat monoton. Tidak salah kalau seandainya kita membiasakan gerakan politik yang mendatangkan kesehatan bagi tubuh politik sendiri. Namun bila sebaliknya, maka tubuh politik kita akan sakit.

Cara berpolitik seperti politik uang, kampanye hitam, politik saralah yang membuat wajah politik terlihat tidak segar. Cara berpolitik ini lah yang selalu dilakukan oleh para perakus kekuasaan. Seperti tubuh politik kita itu kurang bergoyang.

Padahal bergoyang adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebugaran, kesegaran dan rasa semangat yang berdampak pada kesehatan. Semakin sering bergoyang, semakin sehat pula kita punya tubuh. Sebab dengan bergoyang, jantung, tulang, dan otot kita semakin dipacu. Singkatnya, tubuh manusia yang jarang atau malah tidak pernah bergoyang akan mudah sakit.

Begitu juga tubuh politik, kalau jarang goyang atau malah tidak pernah bergoyang akan mudah sakit. Tubuh politik adalah keseluruhan dari bagian-bagian yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Setiap bagian tubuh politik mempunyai kekuasaan dan peran masing-masing.

Kepala yang di dalamnya ada otak, berkuasa untuk berpikir, diperankan oleh kelas atas seperti mereka yang berada di lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif.

Badan yang di dalamnya terdapat organ-organ pencernaan berkuasa mengolah apa yang masuk melalui mulut di kepala untuk dijadikan energi bagi kepala dan kaki bekerja, ini diperankan oleh mereka kelas menengah, seperti pengusaha, akademisi, wartawan serta mereka yang bekerja di lembaga non pemerintahan lainnya.

Bagian kaki dan tangan adalah di dalamnya otot dan tulang yang keras berkuasa mencari makanan untuk di makan diperankan oleh mereka kelompok bawah seperti buruh bangunan, buruh toko, petani, dan sebagainya.

Jadi, tubuh politik yang jarang goyang itu merupakan tubuh politik yang kaku. Tubuh politik yang kaku adalah tubuh politik yang melakukan gerakan politik yang monoton. Gerakan/cara berpolitik yang monoton itu seperti yang penulis sebut di atas.

Cara berpolitik inilah yang sampai sekarang masih eksis di mana dan kapan saja. Bagian tubuh politik yang cenderung melakukan cara berpolitik ini adalah para politisi yang ingin menaikan status kedudukannya. Akibat dari cara berpolitik ini membuat tubuh politik tidak segar, tidak bugar, dan tidak semangat alias tidak sehat.

Supaya tubuh politik ini tetap sehat, maka cara berpolitiknya harus sehat terlebih dahulu. Oleh karena itu, cara berpolitik para politisi harus berubah. Para politisi yang ingin menaikan status kedudukannya harus mampu berpolitik gaya baru.

Cara berpolitik gaya baru yang penulis maksud adalah cara berpolitik yang mengandung nilai-nilai seperti nilai keikhlasan, kejujuran dan bertanggung jawab.

Sudah saatnya tubuh politik yang jarang goyang memulai untuk bergoyang. Para politisi diharuskan menemukan ide-ide baru yang membangun bangsa dan negara. Para politisi tidak lagi mengadopsi cara berpolitik yang monoton. Sebab, cara berpolitik monoton membuat tubuh politik tambah kaku dan sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun