Mohon tunggu...
amaliarif
amaliarif Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bersyukurlah atas era keterbukaan. Karena tidak semata-mata dibungkam, opini anda masih berpeluang didengarkan-

Selanjutnya

Tutup

Bola

Tentang Timnas dan "Kutukan Sepak Bola Gajah"

20 September 2017   12:08 Diperbarui: 20 September 2017   12:13 2796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya, setelah memastikan Indonesia menempati posisi juara 3 di ajang AFF U19 2017, saya sempat memostingkan tulisan ini di blogger: perimoody28.blogspot.co.id. Ini adalah opini pribadi. Penulis tidak terprovokasi juga tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun.

Beberapa hari yang lalu tepatnya Jumat (15/09/2017), Timnas U18 dipastikan gagal melaju ke final AFF yang diselenggarakan di stadion Thuwuna, Yangon, Myanmar. Gagalnya skuad Garuda Muda, menyisakan pedih yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, bagi tim asuhan coachIndra Sjafri yang sudah berjuang mati-matian di lapangan.

Banyak dari netizen Indonesia yang menyayangkan kegagalan ini. Terlebih, pada laga tersebut, meskipun Saddil Ramdani diganjar kartu merah dan memaksa kesebelasan INA bermain dengan hanya 10 orang pemain di paruh waktu kedua, Indonesia tetap dapat menunjukkan performa terbaiknya.  Sebagai eksekutor pertama dan ketiga, tendangan tajam Gelandang Timnas Indonesia, Egy Maulana Vikri dan pemain lain Muhammad Luthfi K. B berhasil menjebol jala kiper Thailand . Sayangnya, hal tersebut tidak mampu mengantarkan Indonesia ke partai puncak piala AFF 2017. Pertandingan sore hari itu dimenangkan Thailand lewat drama adu penalti dengan skor 3-2 atas Indonesia.

Selanjutnya, Minggu (17/09/2017), Pasukan Garuda Muda berhasil melampiaskan kekecawaan mereka di pertandingan yang lalu dengan membabat habis kesebelasan tuan rumah, Myanmar, demi memperebutkan posisi sebagai juara ke 3 ajang AFF 2017.

Dengan sangat ciamik, Rafli si pemain dengan julukan "dari santri untuk negeri" menciptakan gol pertama bagi Indonesia, disusul kawan-kawannya yang lain dengan rincian gol keseluruhan Rafli (2), Witan (1), Egy (2),  Sagara (2). Total, Indonesia menang 7-1 atas tim yang negaranya sedang dipandang dunia internasional karna kasus Rohingya tersebut.

Meninggalkan berita tersebut, saya ingin menyampaikan opini saya tentang sebuah hal yang saya temukan di dunia maya. Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa saya bukanlah orang yang paham betul mengenai dunia sepak bola. Saya hanya seorang masyarakat yang berusaha menjadi warga negara yang baik, dengan ikut menyoroti dan mengikuti perkembangan sepak bola tanah air. Sekali lagi, saya bukan ahli yang berpengetahuan tinggi tentang sepak bola.

Sebagai salah seorang yang mengikuti Timnas Indonesia dalam berlaga, menurut lensa saya, Indonesia bukanlah negara yang lemah dan terbelakang dalam permainan sepak bola. Permainan-permainan kesebelasan Garuda, baik Timnas U-18 maupun U-22, saya rasa patut dipertimbangkan dan diwaspadai oleh lawan. Tim asuhan coachIndra Sjafri dan Luis Milla ini, memiliki skill dan kecepatan yang cukup merepotkan apabila memasuki daerah  pertahanan lawan. Hal ini dapat dibuktikan dengan pertandingan-pertandingan yang telah mereka lalui, seperti di Sea Games 2017 bagi U-22 dan di AFF 2017 bagi U-18. Dalam kedua laga itu, banyak pelatih dari negara tetangga yang mewaspadai dan mengakui bahwa Indonesia adalah tim kuat dengan koordinasi, kecepatan, serta kecakapan yang baik dan teratur.

Meskipun dianggap sebagai tim kuat, nyatanya, Indonesia harus berpuas diri dengan hanya menduduki posisi ke 3 baik di ajang Sea Games maupun AFF 2017. Ditinjau dari permainannya, banyak pemerhati yang setuju jika Indonesia adalah tim yang sangat layak masuk ke final dan mengalungi gelar juara. 

Namun nampaknya, hingga hari ini, keberuntungan masih belum berpihak pada Tim Nasional Indonesia. Seolah sengaja menjauh ketika dibutuhkan, ketidakberuntungan yang disebut-sebut menimpa Indonesia sudah terjadi  bertahun-tahun lamanya. Indonesia selalu berpeluang menjadi juara. Lantas ketika ia di semifinal, ia akan masuk ke final. Namun ketika masuk di final, maka ia akan menjadi runner up.  Begitu berputar-putar langkah tim kita terhenti untuk menduduki posisi pertama. Sejauh ini, Timnas kita hanya harus puas di posisi kedua atau ketiga dalam sebuah laga. Tentu saja itu bukan hal buruk. Tapi kita pasti tahu bahwa ada hal yang lebih baik dari sekedar menjadi runner up, juara 3, atau bahkan dibawah itu.

Saya menemukan banyak sekali netizen yang mengumpat tidak jelas di sosial media sebagai bentuk respon atas kekecewaan mereka melihat prestasi Timnas sejauh ini. Meskipun masih banyak yang men-support Timnas Indonesia dalam segala kondisi, namun saya lebih banyak menemukan bertumpuk-tumpuk manusia bermulut menjijikkan yang hanya bisa mencaci tanpa berkontribusi secara langsung terhadap Tim yang katanya mereka dukung itu. Dan diantara derasnya hujan komentar tersebut, ada sebuah komentar yang cukup menarik perhatian saya.

Sebuah akun yang saya tidak ingat namanya berkata "Itu sebuah kutukan. Indonesia tidak akan pernah juara. Dulu ada yang bilang kalo kasus Sepak Bola Gajah tidak diselesaikan hingga akarnya, Indonesia tidak akan pernah juara". Begitu kira-kira sebuah akun menyampaikan komentarnya.

Dari situ, saya mulai penasaran tentang "Apakah pernyataan itu benar? Atau itu hanya sebuah komentar tidak berdasar?". Saya memutuskan untuk mencari tahu. Lalu, apa yang saya dapat adalah:

Menurut koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali, saat itu Mursyid pernah berkata, Indonesia tidak akan pernah juara jika otak utama kasus sepak bola gajah pada saat itu tidak terungkap. (Dikutip dari republika.co.id edisi November 2014)

Mursyid Effendi. Ia adalah seorang pemain sepak bola tanah air, yang ikut mencatatkan namanya dalam sejarah kelam dunia sepak bola di Piala Tiger (sekarang AFF) 1998 ketika Indonesia menghadapi Thailand. Saat itu, demi menghindari Vietnam yang sedang menakutkan dijamannya, baik tim Indonesia maupun Thailand tidak ada yng berniat untuk memenangkan pertandingan. Kedua tim berlomba-lomba untuk kalah agar tidak berhadapan dengan Vietnam di semifinal. Pada saat injury time Mursyid Effendi dengan bangga memasukkan bola ke gawangnya sendiri dan merubah kedudukan 3-2, dimana Thailand menang atas Indonesia. 

Gol itu, gol bunuh diri itu, menjegal karir Mursyid di dunia persepakbolaan tanah air. Naasnya, setelah dianggap mencederai sportivitas sepak bola, Mursyid diganjar hukuman seumur hidup tidak boleh berlaga di kancah internasional. Sedangkan menurut Mursyid, dalang yang membuat Mursyid pada akhirnya mempermalukan dirinya sendiri  justru lolos dan terbebas dari hukuman.

Baca Juga :Tragedi Memalukan di Piala Tiger 1998

Setelah membaca beberapa artikel, saya bertanya-tanya tentang "untuk apa?" Kira-kira untuk apa hal semacam itu dilakukan?. Setelah kasus Piala Tiger di tahun 1998, Indonesia kembali dikejutkan dengan permainan badut lainnya yang dilakukan oleh PSS Sleman dan PSIS Semarang di tahun 2014. Sepak Bola Gajah yang menjadi bahan tertawaan publik itu kembali terjadi. Dengan kasus yang pada intinya, para pemain melakukan gol bunuh diri bukan murni karena keinginan mereka. Mereka adalah korban yang ketika diintograsi tidak berani mengatakan kebenaran karena desakan dan settingan dengan imbalan iming-iming hukuman akan diringankan.

Meskipun masih tidak dapat memahami tentang mengapa para dalang merencanakan lelucon ini, saya dapat memahami satu hal, bahwa ada ketidakberesan sistem yang mengikat mereka. Bahwa terdapat kebobrokan kepengurusan di sepak bola tanah air yang kita cintai ini. Banyak pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang menjebol batas aturan demi kepentingan-kepentingan yang menurut Akmal tidaklah masuk akal namun tetap dilakukan demi kepentingan pribadi. Kepengurusan itu, sudah tidak jelas dan merugikan bangsa. Kepengurusan itu, sudah gila dan semakin tidak rasional.

Baca :

SOS Tuntut PSSI Ungkap Dalang Sepak Bola Gajah

Akmal Marhali: PSSI Lebih Memilih Membuat Keputusan Kontroversial

Maka tentang "Kutukan Sepak Bola Gajah", boleh jadi Mursyid Effendi memang pernah menggertak agar kasus yang menimpanya diusut hingga tuntas atau Indonesia tidak akan juara. Dan jika pernyataan itu memang pernah dilontarkan, jangan anggap ia sebagai kutukan. Berhentilah berfikir demikian, maka kutukan yang disebut-sebut itu tidak akan pernah terjadi. Anggaplah pernyataan itu sebagai cambukan agar Indonesia berbenah. Menjadi lebih baik dan lebih baik lagi disetiap harinya. Menjadi kepengurusan yang transparan dan jujur tanpa bertipu muslihat membohongi publik. Karena saya yakin, sekeras apapun perkataan beliau, sebagai mantan pesepakbola tanah air, sekecil apapun dukungan itu, hati seorang Mursyid Effendi, akan tetap senang melihat kebangkitan sepak bola tanah air.

Selanjutnya, bagi masyarakat yang hobi mencaci ketika Indonesia kalah, berhentilah. Berhenti mengaku haus akan gelar juara, jika kalian tak hentinya berkoar-koar tentang Indonesia yang bermental pecundang dan payah sehingga ia selalu kalah. Pikirkanlah, boleh jadi beban terberat yang membuat mental para pemain menjadi lemah saat di lapangan adalah kalian semua. Karena supporternya yang tidak dewasa. Karena supporternya yang ketika kalah menghina. Karena supporternya yang tidak menerima kekalahan dan menyerang negara lawan di akun mereka. Karena supporternya yang tidak percaya dengan perjuangan para punggawa kita. 

Karena supporternya yang bertindak anarki, kasar, serta tidak sopan terhadap tim lawan. Karena supporternya yang tidak menghargai sebuah permainan. Karena supporternya yang sama sekali tidak peduli betapa garuda muda amat berusaha untuk meraih kemenangan. Berhentilah menjadi supporter fanatik yang tidak bermoral. Jika Indonesia kalah, terima kekalahan itu, dan jika tidak dapat kalian berkontribusi secara langsung, lakukan yang kalian bisa; berdoalah untuk kebaikannya dan bukan malah menyerang negara lawan dengan ucapan-ucapan tidak pantas. Karena ketika kalian bertindak demikian, mengumpati negara orang, saat kalah darinya, disitu pemain kita akan merasa malu dan terbebani. Karena ulah kalian, yang mengaku cinta tapi tidak menghargai.

Satu hal yang harus kita perhatikan jika kembali menemui kekalahan adalah memikirkan perasaan pahlawan kita di lapangan. Bahwa rasa kecewa kita tidak ada apa-apanya dibanding rasa kecewa mereka yang secara nyata jatuh bangun mempertaruhkan segala upaya demi membela bangsanya. Lantas ketika tidak beruntung dan pulang dengan kekalahan, mereka disambut dengan mulut-mulut tidak berakhlaq yang mencaci tiada henti. Maka jika memang benar ingin rasanya melihat Timnas kita juara, dukunglah selalu mereka. Jadilah makhluk penuh syukur dan dewasa, demi pada akhirnya kita menjadi benar-benar bangga dan bahagia.

Referensi:

1. https://juara.bolasport.com/read/sepak-bola/indonesia/92261-asal.mula.istilah.sepak.bola.gajah 

2. http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/14/11/26/nfmurh-timnas-takkan-juara-karena-kutukan-mursyid-effendi

3. https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/2730709/sepakbola-gajah-dan-tragedi-memalukan-di-piala-tiger-1998 

4. http://infoolahraga.net/soal-sepakbola-gajah-sos-tuntut-pssi-ungkap-dalangnya/

5. https://www.kaskus.co.id/thread/59569ce8902cfee63d8b4575/akmal-marhali-pssi-lebih-memilih-membuat-keputusan-kontroversial/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun