“…pada akhirnya setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia.”
“Apakah gerangan dusta terbesar itu?”
“…bahwa pada satu titik dalam hidup kita,kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita,dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib.Demikianlah dusta terbesar itu.”~ The Alchemist, Paolo Coelho
Setiap orang mempunyai kepercayaannya sendiri tentang apa yang dinamakan nasib. Sejak Yunani dan Romawi kuno, orang telah sengit berdebat mengenai ini dengan ujung dua kesimpulan. Yang pertama, menyatakan bahwa Tuhan pensiun sejak menciptakan alam semesta ini, sehingga nasib mutlak ditentukan oleh sang makhluk. Sang makhluk digdaya mencipta nasibnya sendiri. Yang kedua, menyatakan bahwa Tuhan setia mencipta ulang semesta ini setiap saat, sehingga tidak ada satupun kejadian yang lepas dari kekuasaan dan ketentuanNYA. Kesimpulan yang terakhir ini menegaskan bahwa makhluk hanya tinggal terima nasibnya.
Mana yang benar dari dua posisi ekstrim ini? Kiranya hanya Tuhan yang tahu. Spekulasi seperti ini mungkin salah satu kegaiban Kehendak Tuhan. Lalu apa yang mesti dilakukan? Bila berhubungan dengan sistem nilai dan kepercayaan, saya setuju dengan kredo sederhana yang singkatnya bisa dinyatakan seperti ini:
Berpihaklah pada yang mengefektifkan Anda!
Nasib tidak bisa dinilai dari sebuah kejadian tunggal. Nasib tidak bisa berdiri dengan dirinya sendiri. Nasib hanya bisa dihitung dari deret gerak kita dalam mengarungi ruang waktu. Nasib tidak lain adalah respon kita pada peluang, pada kesempatan.
Kesempatan baik, yang bilamana terwujud akan menandai nasib baik seseorang, harus dijalani. Mungkin bukan kebetulan Pak Mario Teguh menempatkan tulisannya yang berjudul ‘Fate’ di urutan kedua setelah ‘One Million 2nd Chances’ yang juga didaulat menjadi judul buku bersangkutan. Nasib hanya bisa direkayasa ketika kita menyongsong dan mewujudkan kesempatan-kesempatan. Kebaikan atau keburukan nasib pada akhirnya adalah soal mengubah diri.
Kehidupan ini memiliki aturannya sendiri, dan tampaknya ia sangat serius untuk memaksa kita menghormati aturan-aturan itu. Dia menolak untuk menjadikan dirinya sebuah kehidupan yang baru bagi kita, bila kita tidak memperbarui sikap dan cara-cara kita.Nasib ini tidak akan berubah, bila kita –Anda dan saya, tidak mengubah diri. (Fate, Mario Teguh)
Di hulu tulisan Fate-nya Pak Mario mencatatkan layaknya ucapan Latin ‘carpe diem’ –raihlah saat-saatmu- dengan mengatakan:
Jangan pernah menunggu nasib.Buatlah nasib Anda sendiri. Hari perhitungan Anda terjadi setiap hari.
Sebagai penutup, sebuah metafor akan menambah keyakinan kita akan penasehatan beliau, sebagai berikut:
Seorang jenderal menghadapi dilema. Pasukannya berada pada titik akhir semangat. Akhirnya ia mengemukakan gagasan:
“Okelah, mungkin inilah batas keyakinan kita sebagai manusia. Kita merasa akan kalah besok, dan lebih baik mundur dari peperangan. Tapi coba kita serahkan keputusan ini pada tangan Tuhan. Dalam waktu secepat ini, tidak ada salahnya kita mencoba mengundi nasib,”Sang jenderal merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sekeping koin.
“Kita pilih maju terus bila kepala. Dan kita akan mundur kalau ekor. Siap!”
“Siap!” sahut semua pasukan.
Si jenderal melemparkan koinnya ke udara, menangkapnya lalu meletakkannya di lengan. Yang tampak kemudian adalah kepala.
Besoknya, merasa Tuhan merestui, pasukan itu berperang dengan beraninya. Dan akhirnya mereka menang.
Di sela-sela istirahat, jauh dari hiruk pikuk pasukan, sang asisten berkata pada sang jenderal:
“Tuhan memberkati kita! Dan ternyata berkahNYA bisa kita ketahui dengan cara gampang. Melempar koin!”
“Hanya saja kita harus membuat sendiri koinnya yang istimewa!” dengan tersenyum sang jenderal menjawab sambil memperlihatkan koin yang dua sisinya sama: ‘kepala’.[PUF, 040908]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H