Mohon tunggu...
Peri Farouk
Peri Farouk Mohon Tunggu... -

PERI FAROUK. Penyuka Neuro Linguistic Programming dan Peoplenology, yang dipadukan dengan khasanah Sufisme dan Zen. Profilnya sebagai web-social activist serta perspektif dan berbagai pengamatannya telah dipublikasi berbagai media, antara lain: KickAndy MetroTV, Inspirasi Pagi MetroTV, Metro Realitas, Dialog Khusus TVRI, Debat TVOne, Inspirasi Selebriti TVN, RRI, Trijaya FM, HardRock FM, Sonora , Tabloid Nova, dan lain-lain. Pernah bekerja sebagai konsultan di Worldbank, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero), tenaga ahli di Magister Hukum Universitas Gadjah Mada dan Komisi Penyiaran Indonesia. Pernah mengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada. Juga aktif sebagai advisor di PT Grahamandiri Management Terpadu (GMT Groups), serta researcher dan reviewer di beberapa organisasi nasional maupun internasional. Berbagai tulisannya telah dipublikasi di media massa, jurnal, buku, dan ebook dengan skala nasional maupun internasional. Memiliki program sms dan klip-audio inspirasional, serta talkshow radio di Produa 96 FM RRI Bandung, dan Motivational Speaker di Kilas Indonesia Pagi MNC News TV Channel 84 Indovison, VisionTV & OkeTV. Kontak undangan konsultasi, ceramah dan pelatihan: email@perifarouk.com 0819.08.343.927 021.3666.8061

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nasib

18 Juli 2011   05:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“…pada akhirnya setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia.”
“Apakah gerangan dusta terbesar itu?”
“…bahwa pada satu titik dalam hidup kita,kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada kita,dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib.Demikianlah dusta terbesar itu.”

~ The Alchemist, Paolo Coelho


Setiap orang mempunyai kepercayaannya sendiri tentang apa yang dinamakan nasib. Sejak Yunani dan Romawi kuno, orang telah sengit berdebat mengenai ini dengan ujung dua kesimpulan. Yang pertama, menyatakan bahwa Tuhan pensiun sejak menciptakan alam semesta ini, sehingga nasib mutlak ditentukan oleh sang makhluk. Sang makhluk digdaya mencipta nasibnya sendiri. Yang kedua, menyatakan bahwa Tuhan setia mencipta ulang semesta ini setiap saat, sehingga tidak ada satupun kejadian yang lepas dari kekuasaan dan ketentuanNYA. Kesimpulan yang terakhir ini menegaskan bahwa makhluk hanya tinggal terima nasibnya.

Mana yang benar dari dua posisi ekstrim ini? Kiranya hanya Tuhan yang tahu. Spekulasi seperti ini mungkin salah satu kegaiban Kehendak Tuhan. Lalu apa yang mesti dilakukan? Bila berhubungan dengan sistem nilai dan kepercayaan, saya setuju dengan kredo sederhana yang singkatnya bisa dinyatakan seperti ini:

Berpihaklah pada yang mengefektifkan Anda!

Nasib tidak bisa dinilai dari sebuah kejadian tunggal. Nasib tidak bisa berdiri dengan dirinya sendiri. Nasib hanya bisa dihitung dari deret gerak kita dalam mengarungi ruang waktu. Nasib tidak lain adalah respon kita pada peluang, pada kesempatan.

Kesempatan baik, yang bilamana terwujud akan menandai nasib baik seseorang, harus dijalani. Mungkin bukan kebetulan Pak Mario Teguh menempatkan tulisannya yang berjudul ‘Fate’ di urutan kedua setelah ‘One Million 2nd Chances’ yang juga didaulat menjadi judul buku bersangkutan. Nasib hanya bisa direkayasa ketika kita menyongsong dan mewujudkan kesempatan-kesempatan. Kebaikan atau keburukan nasib pada akhirnya adalah soal mengubah diri.

Kehidupan ini memiliki aturannya sendiri, dan tampaknya ia sangat serius untuk memaksa kita menghormati aturan-aturan itu. Dia menolak untuk menjadikan dirinya sebuah kehidupan yang baru bagi kita, bila kita tidak memperbarui sikap dan cara-cara kita.Nasib ini tidak akan berubah, bila kita –Anda dan saya, tidak mengubah diri. (Fate, Mario Teguh)

Di hulu tulisan Fate-nya Pak Mario mencatatkan layaknya ucapan Latin ‘carpe diem’ –raihlah saat-saatmu- dengan mengatakan:

Jangan pernah menunggu nasib.Buatlah nasib Anda sendiri. Hari perhitungan Anda terjadi setiap hari.

Sebagai penutup, sebuah metafor akan menambah keyakinan kita akan penasehatan beliau, sebagai berikut:

Seorang jenderal menghadapi dilema. Pasukannya berada pada titik akhir semangat. Akhirnya ia mengemukakan gagasan:

“Okelah, mungkin inilah batas keyakinan kita sebagai manusia. Kita merasa akan kalah besok, dan lebih baik mundur dari peperangan. Tapi coba kita serahkan keputusan ini pada tangan Tuhan. Dalam waktu secepat ini, tidak ada salahnya kita mencoba mengundi nasib,”Sang jenderal merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sekeping koin.

“Kita pilih maju terus bila kepala. Dan kita akan mundur kalau ekor. Siap!”

“Siap!” sahut semua pasukan.

Si jenderal melemparkan koinnya ke udara, menangkapnya lalu meletakkannya di lengan. Yang tampak kemudian adalah kepala.

Besoknya, merasa Tuhan merestui, pasukan itu berperang dengan beraninya. Dan akhirnya mereka menang.

Di sela-sela istirahat, jauh dari hiruk pikuk pasukan, sang asisten berkata pada sang jenderal:

“Tuhan memberkati kita! Dan ternyata berkahNYA bisa kita ketahui dengan cara gampang. Melempar koin!”

“Hanya saja kita harus membuat sendiri koinnya yang istimewa!” dengan tersenyum sang jenderal menjawab sambil memperlihatkan koin yang dua sisinya sama: ‘kepala’.[PUF, 040908]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun